Saturday 18 May 2013

Jalan kaki jalan-jalan

Mendaki tebing @Bromo
Berjalan kaki di padang savana Bromo kemarin membuat saya mengingat kembali betapa sebetulnya ‘jalan kaki’ menjadi kegiatan tak terhindarkan di setiap saya menjelajahi kota-kota di Indonesia (lagaknya kayak udah banyak yang dikunjungi hehe). Dan saya yakin banyak traveler yang juga pasti (mau) berjalan kaki menjelajahi tempat menarik, terlebih hubungan antara tempat eksotis dan kurangnya akses biasanya berbanding lurus. Semakin tak terjamah suatu tempat wisata maka semakin menarik dan semakin minim akses menuju kesana yang biasanya memaksa traveler berjalan kaki. Contoh naik-naik ke puncak gunung (yaiyalah). Selain terpaksa karena minim transportasi, alasan memutuskan jalan kaki pun beragam. Bagi saya menikmati lingkungan sekitar sepanjang jalan cukup membuat saya mau berjalan kaki jauh yang biasanya berimbas (positif) pada penghematan budget. Atau alasan ekstrem saya karena takut ‘kebablasan’ kalau naik angkutan yang akhirnya ‘sok-sok’ kuat jalan kaki beriringan dengan angkutan di jalan raya yang liar.

Dua 'kisanak' selalu berkelana @savana Bromo
Memori pertama kali saya berjalan kaki jauh adalah sewaktu kuliah dulu menemani seorang teman menyusuri pantai. Bukan untuk senang-senang, melainkan tuntutan tugas akhir (skripsi) yang membuat kami harus memetakan (tracking) titik-titik di pinggir pantai Cilacap setiap 100-200 meter dengan GPS, sejauh hampir 20 km! Sebetulnya bisa saja naik becak, sewa motor atau lainnya. Tapi akhirnya kami memutuskan berjalan kaki dengan alasan menikmati pantai dan pemandangannya ditambah (sekali lagi) kondisi keuangan (mahasiswa kan!).

Ditemani pasir pinggir pantai bak kaca yang selalu menyilaukan mata, angin pantai di siang bolong pun tidak banyak membantu untuk menahan keringat ini bercucuran, pohon-pohon kelapa harapan untuk memayungi kami pun jauh tak terjamah. Puasa Ramadhan ketika itu menjadi arena perang terhebat antara ‘si batal’ dan ‘si puasa’. Memang agak ekstrem ya kombinasinya dan yang lebih ekstrem lagi, saya itu hanya menemani! Tapi ternyata karena dibarengi keinginan besar jalan-jalan membuat kami pun bisa menyelesaikan perjalanan berpuluh kilometer ini walau keluh kesah tawa kesal keluar bergantian dari mulut kami berdua. Dan kini saya tidak menyesali perjalanan itu karena lingkungan masyarakat sekitar jadi pemandangan menarik tersendiri dan ini jadi pelajaran sekaligus menambah kekuatan fisik dan hati untuk selanjutnya saya pasti kuat berjalan kaki atau bahkan berjalan kaki saja!

Kali kedua adalah di Jogja. Masih dalam rangkaian skripsi. Masih dengan teman yang sama. Tapi kali ini saya memiliki kepentingan tersendiri. Tidak sekedar menemani.

Ini kunjungan pertama saya ke Jogja. Senja Utama yang mengantar kami tidak bisa berbuat banyak menunjukkan jalan menuju tujuan kami selanjutnya, hanya sampai stasiun Tugu saja tugasnya. Berbekal informasi di stasiun, kami bisa menggunakan Trans Jogja untuk menuju UGM. Yap, kampus ini akan membantu saya menyelesaikan tugas akhir dan kesanalah kami selanjutnya. Niat tulus petugas Trans Jogja malah menuntut kami pada keinginan besar berjalan kaki karena si petugas membekali kami dengan peta, dan kami pun menyambangi halte Trans Jogja lain demi mendapatkan tambahan peta (satu orang satu gitu!). Itulah kali kedua saya berjalan kaki jauh, dari Stasiun Tugu sampai kampus Gajah Mada hampir sejauh 10 km termasuk keliling cari kost-kostan murah di Kaliurang untuk kami menginap selama satu bulan kedepan. Kemampuan mencocokkan peta dengan kondisi aslinya sampai menebak ‘apakah ini yang dimaksud di peta’ pun meningkat, maklum peta rute jalur Trans Jogja ini tidak mungkin menunjukkan detail kenyataannya. Lima tahun berselang, jalanan dan suasana Jogja ketika itu pun masih teringat jelas dalam benak saya. Menyenangkan! Tak heran saya selalu mencoba kembali ke Jogja J

‘Kepagian’  juga bisa menjadi salah satu alasan kenapa saya berjalan kaki. Akhir Maret yang lalu saya kembali mengunjungi Coban Rondo di Batu-Malang. Karena waktu yang sempit plus dibumbui semangat yang besar akhirnya sampailah kami di daerah Pujon di pertigaan menuju wanawisata air terjun pukul setengah enam pagi! Sang ojek pengantar pasti masih terlelap menikmati udara dingin sehingga akhirnya kami memutuskan berjalan kaki, bahkan penjaga pintu gerbang pun pasti tak rela meninggalkan mimpinya sehingga kami bebas biaya masuk. Udaranya memang begitu dingin menyejukkan walaupun keringat kami tetap jatuh menempuh hampir 12 km pulang pergi dengan kontur jalan pegunungan yang turun naik. Tapi barisan pinus dan jati yang menemani kami memberikan kesegaran mengisi paru-paru hingga otak kami yang tetap memerintahkan kami terus berjalan dengan senang. Memanjakkan mata menikmati naiknya matahari beralas pemandangan rumah-rumah cantik dan deretan sawah hijau. Sebetulnya ada satu pengunjung yang juga datang pagi-pagi tapi kami seakan enggan untuk sekedar menumpang, akhirnya hanya tetap mengandalkan kaki untuk pulang. Nah, demi ikut tetap menjaga kelestarian tempat wisata ini, kami pun membayar biaya masuk justru saat kami keluar hehe.
Jalan kaki pun tetap foto @Pangkalpinang, Bangka
Begitu banyak memori mengenai tempat wisata yang lekat dengan berjalan kaki. Di Bangka kami jalan kaki panas-panas demi mendapat hotel murah sampai sewaan motor dan mobil, saya pun tak ragu jalan kaki jauh di jalan raya Lembang ketika mencari Vihara Vipasana (daripada macet) bahkan berjalan kaki di dalam kota Bandung karena saya pusing dengan jalan satu arahnya juga angkutannya tapi juga seru menikmati sisa-sisa Belanda yang sengaja ditinggalkan di kota ini.

Gantian bawa ransel @Gn. Gede
Berjalan kaki, memang mejadikan badan lebih sehat, kaki lebih kuat dan menjadikan nafas lebih teratur dengan syarat harus dilakukan dengan hati senang. Bahkan ketika berjalan kaki adalah pilihan terakhir, saya selalu mencoba melakukannya dengan senang tepatnya merelakannya. Ketika ikut di pendakian puncak Gunung Pangrango Bogor contohnya, berjalan kaki bahkan di malam hari adalah pilihan satu-satunya untuk memudahkan mendekati puncak. Padahal sebelumnya saya tidak pernah dan tidak mau berjalan kaki malam-malam di kota tanpa tujuan yang jelas, tapi di gunung lain cerita ternyata. 

'Nyemil' dulu istirahat @puncak Gn.Pangrango
Saya yang pemula mendapati diri berada di titik kulminasi bahwa kaki tidak lagi bersahabat, leher tak lagi mampu menopang mata untuk terus mengarah ke puncak, pundak pun terasa tak hanya sekedar membawa satu carrier, tapi mungkin milik satu tim. Dan toh, hati ini ternyata bekerja lebih keras. Meneguhkan diri bahwa berjalan lah selangkah demi selangkah, menata fikiran dengan hal-hal yang menyenangkan dan disanalah saya pada akhirnya, puncak Pangrango. Tersenyum dan malu mengingat apa yang pernah saya keluhkan dan bagaimana alam sekitar memberikan saya pelajaran sekaligus bangga akan apa yang bisa dilakukan oleh hati seseorang.

jalan-jalan gembira ya...  


6 comments:

  1. Jalan kaki emang salah satu kewajiban pecinta jalan-jalan kecuali yang gak punya kaki... olahraga sehat...

    ReplyDelete
    Replies
    1. setuju! sendiri atau rame2, jalan kaki tetap bikin sehat

      Delete
  2. Gue kayaknya tau dan hadir juga pas momen titik kulminasi itu datang, hehe.. andai footprint bisa bicara ya, ceritanya bakal panjaaaangg..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wahh,,, pengalaman tak terlupakan ya hahaha..
      *jadi malu pasti ya!

      Delete
  3. nice post.
    untuk walking tour sumatera barat silahkan kunjungi balik

    ReplyDelete