Sunday, 9 June 2013

‘Mumpung’ story (eps.1) : Medan

Kesempatan jalan-jalan ternyata juga bisa didapatkan ketika kita sedang tugas kerja keluar kota. Sambil menyelam minum air katanya mah. Memang, alokasi waktu untuk menjelajah tidaklah banyak tapi keuntungannya kita bisa berhemat untuk urusan transportasi dan akomodasi. Paling hanya butuh transportasi dalam kota. Tapi rasanya sah-sah saja yang penting tidak melalaikan tugas utama dan ingat untuk pulang ke kota asal (hehe). Sayang saja kalau kita tidak cukup mengenal daerah yang kita singgahi, supaya banyak yang bisa dikenang gitu mosok cuma tentang kerjaannya saja. Tambah sayang lagi ketika waktu luang kita hanya dihabiskan di penginapan atau hotel.

Horas!
Saya ingat beberapa tahun lalu tugas pertama saya adalah mengunjungi Medan. Langsung semangat juga bingung karena saya belum pernah mengunjungi kota besar ini.

Ketika itu pesawat belum berhenti sempurna, hanya beberapa saat setelah roda kecilnya menyentuh badan landasan Polonia, awak kru pesawat dari balik mic-nya menyerukan penumpang untuk tetap duduk hingga parkir sempurna. Tidak cukup luas memang Bandar Udara Polonia jika membandingkannya dengan Jakarta, tapi keduanya sama menjadi salah dua bandar udara tersibuk di Indonesia. Tanpa menunggu lama, sekonyong-konyong beberapa (dan itu banyak) penumpang bangkit seperti tidak mendengar seruan tadi, bergegas segerakan tangan menyambar barang-barang dari balik bagasi kabin. Saya seperti terbawa efek hipnotis yang harus ikut bergerak melakukan hal yang sama, tapi rasanya tidak mungkin mempertahankan keseimbangan badan diatas pesawat yang berjalan ini yang akhirnya membuat saya tetap duduk tidak beranjak kemana-mana. Saya hanya diam, menunggu pesawat berhenti sempurna dan bertanya-tanya memandangi mereka yang “cekatan sekali” pikir saya. Dan uniknya, hal ini selanjutnya tidak saya jumpai di penerbangan saya ke kota lainnya (hehe).

Kantor PP (Perusahaan Perkebunan)

“Seperti Bandung” batin saya ketika jalan-jalan naik bentor (becak bermotor) di pusat kota Medan. Jalanannya yang asri, sejuk berpepohonan, juga dipagari bangunan-bangunan tua jaman kolonial membuat Medan terlihat antik. Tengoklah bangunan Kantor Pos Medan di Jl. Medan Merdeka Square yang begitu kental akan arsitektur Belanda, lalu juga ada gedung tua lainnya yang digunakan PT PP London Sumatera di Jl. A. Yani ataupun bangunan Balai Kota Lama yang tergabung dalam komplek salah satu hotel international di Jl. Balai Kota Medan. Indahnya lagi, saya menikmatinya di malam hari dimana lampu-lampu jalan menjadikan bangunan-bangunan itu tampak lebih dramatis (atau malah seram? hehe) tapi tetap saja menarik untuk berfoto ria.

Suatu sore selepas saya melaksanakan tugas rutin kantor, bersama seorang teman kami sengaja mengunjungi salah satu situs wisata terkenal di Medan, Istana Maimun (Maimoon). Kesananya naik bentor lagi lho (mudah sekali menemukan angkutan ini dihampir semua sudut kota, tidak seperti bajaj/becak di Jakarta). Bekas istana kesultanan Deli ini sangat megah dengan dominasi warna kuning (khas melayu) di hampir keseluruhan bangunannya. Desainnya mencirikan sebagian Islam dan Eropa. Menjelajahi ruangan baik ke sisi (sayap) kanan sampai kiri, menginjakkan kaki di lantai kayu khas rumah panggung , serta pemandangan dari puluhan kamar-kamar didalamnya benar-benar membawa kita seperti menjelajah ruang waktu kembali kepada masa kejayaan Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah yang ketika itu memprakarsai pembangunan istana ini. Ingin lebih terasa lagi, silahkan sewa juga baju adat melayu yang tersedia dan bergayalah ala sultan di depan singgasana kerajaan yang terdapat di tengah-tengah ruang utama.
Kantor pos ini berdiri sejak 1911, letaknya tidak jauh dari Merdeka Walk
Di istana ini juga terdapat meriam kuno yang konon dikramatkan oleh penduduk sekitar, Meriam Puntung (buntung) namanya. Meriam ini diceritakan sebagai penjelmaan dari adik Putri Hijau yang cantik dan menolak pinangan dari kerajaan Aceh sehingga sang adik berubahlah menjadi meriam untuk menghalau serangan dari kerajaan Aceh yang sedang marah. Sang meriam terus menembak dan akhirnya tidak mampu menahan panas sehingga terbelah dua yang salah satunya berada di istana ini. Sang Putri? Ternyata dibawa oleh kakaknya yang lain yang berubah jadi naga (tuh!). Seru juga mendengar warga bercerita mengenai legenda ini, menambah nilai eksotis si istana.

Istana Maimun juga berdekatan dengan Masjid Raya Medan atau Mesjid Raya Al-Mashun yang juga merupakan peninggalan Kesultanan Deli. Saya pun tak mau ketinggalan untuk bisa melakukan sholat di ikon kota Medan itu dan kesempatan itu ternyata datang saat saya hendak sholat Jumat. Memasuki komplek masjid kita akan disuguhi pemandangan banyaknya penjaja jejanan dan pernak-pernik muslim seperti di kebanyakan situasi masjid saat jumatan. Tapi bangunan masjidnya memang sungguh megah, jauh lebih megah dari istananya (Maimoon), kubah hitamnya yang indah mengingatkan pada Baiturrahman di Aceh. Seperti halnya kebanyakan orang Medan yang bersuara bagus (setidaknya itu yang saya yakini hehe) ternyata adzan yang dikumandangkan di mesjid ini juga sangat indah, merdu sekaligus lantang sekali suaranya malah terpikir ingin merekamnya (hehe).
 
Waktu itu ada pedagang di halaman istana yang menjual kaos oleh-oleh :)
Dan akhirnya di Sabtu pagi itu saya kembali ke Jakarta karena seperti yang saya sampaikan di awal, namanya tugas kantor jangan lupa untuk kembali ke kota asal. Sambil diperjalanan berharap Bandar Udara Internasional Kuala Namu di Deli Serdang akan segera beroperasi karena saya ‘ngeri’ setiap take off atau landing di Polonia begitu terasa dekat dengan pemukiman padat. Bahaya!

Jelajahan selanjutnya 'Mumpung' story (eps.2) : Balikpapan

2 comments:

  1. Belum ada bayangan tentang Medan sebelum baca ini, dan gue terus menunggu 'bayangan2' selanjutnya yakk..keep on writing..!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hayukk lah kita cabut.. ciptakan bayangan sendiri tentang Medan! hehe thanks ya Bud, keep walking too :)

      Delete