Horas! |
Ketika itu pesawat belum
berhenti sempurna, hanya beberapa saat setelah roda kecilnya menyentuh badan
landasan Polonia, awak kru pesawat dari balik mic-nya menyerukan penumpang untuk tetap duduk hingga parkir
sempurna. Tidak cukup luas memang Bandar Udara Polonia jika membandingkannya
dengan Jakarta, tapi keduanya sama menjadi salah dua bandar udara tersibuk di
Indonesia. Tanpa menunggu lama, sekonyong-konyong beberapa (dan itu banyak)
penumpang bangkit seperti tidak mendengar seruan tadi, bergegas segerakan
tangan menyambar barang-barang dari balik bagasi kabin. Saya seperti terbawa
efek hipnotis yang harus ikut bergerak melakukan hal yang sama, tapi rasanya
tidak mungkin mempertahankan keseimbangan badan diatas pesawat yang berjalan
ini yang akhirnya membuat saya tetap duduk tidak beranjak kemana-mana. Saya hanya
diam, menunggu pesawat berhenti sempurna dan bertanya-tanya memandangi mereka
yang “cekatan sekali” pikir saya. Dan uniknya, hal ini selanjutnya tidak saya
jumpai di penerbangan saya ke kota lainnya (hehe).
Kantor PP (Perusahaan Perkebunan) |
“Seperti Bandung” batin
saya ketika jalan-jalan naik bentor (becak bermotor) di pusat kota Medan.
Jalanannya yang asri, sejuk berpepohonan, juga dipagari bangunan-bangunan tua
jaman kolonial membuat Medan terlihat antik. Tengoklah bangunan Kantor Pos
Medan di Jl. Medan Merdeka Square yang begitu kental akan arsitektur Belanda,
lalu juga ada gedung tua lainnya yang digunakan PT PP London Sumatera di Jl. A.
Yani ataupun bangunan Balai Kota Lama yang tergabung dalam komplek salah satu
hotel international di Jl. Balai Kota Medan. Indahnya lagi, saya menikmatinya di
malam hari dimana lampu-lampu jalan menjadikan bangunan-bangunan itu tampak
lebih dramatis (atau malah seram? hehe) tapi tetap saja menarik untuk berfoto
ria.
Suatu sore selepas saya
melaksanakan tugas rutin kantor, bersama seorang teman kami sengaja mengunjungi
salah satu situs wisata terkenal di Medan, Istana Maimun (Maimoon). Kesananya
naik bentor lagi lho (mudah sekali
menemukan angkutan ini dihampir semua sudut kota, tidak seperti bajaj/becak di
Jakarta). Bekas istana kesultanan Deli ini sangat megah dengan dominasi warna
kuning (khas melayu) di hampir keseluruhan bangunannya. Desainnya mencirikan
sebagian Islam dan Eropa. Menjelajahi ruangan baik ke sisi (sayap) kanan sampai
kiri, menginjakkan kaki di lantai kayu khas rumah panggung , serta pemandangan dari
puluhan kamar-kamar didalamnya benar-benar membawa kita seperti menjelajah
ruang waktu kembali kepada masa kejayaan Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa
Alamsyah yang ketika itu memprakarsai pembangunan istana ini. Ingin lebih terasa
lagi, silahkan sewa juga baju adat melayu yang tersedia dan bergayalah ala
sultan di depan singgasana kerajaan yang terdapat di tengah-tengah ruang utama.
Kantor pos ini berdiri sejak 1911, letaknya tidak jauh dari Merdeka Walk |
Di istana ini juga
terdapat meriam kuno yang konon dikramatkan oleh penduduk sekitar, Meriam
Puntung (buntung) namanya. Meriam ini diceritakan sebagai penjelmaan dari adik
Putri Hijau yang cantik dan menolak pinangan dari kerajaan Aceh sehingga sang
adik berubahlah menjadi meriam untuk menghalau serangan dari kerajaan Aceh yang
sedang marah. Sang meriam terus menembak dan akhirnya tidak mampu menahan panas
sehingga terbelah dua yang salah satunya berada di istana ini. Sang Putri?
Ternyata dibawa oleh kakaknya yang lain yang berubah jadi naga (tuh!). Seru
juga mendengar warga bercerita mengenai legenda ini, menambah nilai eksotis si
istana.
Istana Maimun juga
berdekatan dengan Masjid Raya Medan atau Mesjid Raya Al-Mashun yang juga
merupakan peninggalan Kesultanan Deli. Saya pun tak mau ketinggalan untuk bisa
melakukan sholat di ikon kota Medan itu dan kesempatan itu ternyata datang saat
saya hendak sholat Jumat. Memasuki komplek masjid kita akan disuguhi
pemandangan banyaknya penjaja jejanan dan pernak-pernik muslim seperti di
kebanyakan situasi masjid saat jumatan. Tapi bangunan masjidnya memang sungguh
megah, jauh lebih megah dari istananya (Maimoon), kubah hitamnya yang indah
mengingatkan pada Baiturrahman di Aceh. Seperti halnya kebanyakan orang Medan
yang bersuara bagus (setidaknya itu yang saya yakini hehe) ternyata adzan yang
dikumandangkan di mesjid ini juga sangat indah, merdu sekaligus lantang sekali suaranya
malah terpikir ingin merekamnya (hehe).
Dan akhirnya di Sabtu pagi
itu saya kembali ke Jakarta karena seperti yang saya sampaikan di awal, namanya
tugas kantor jangan lupa untuk kembali ke kota asal. Sambil diperjalanan berharap
Bandar Udara Internasional Kuala Namu di Deli Serdang akan segera beroperasi
karena saya ‘ngeri’ setiap take off
atau landing di Polonia begitu terasa
dekat dengan pemukiman padat. Bahaya!
Belum ada bayangan tentang Medan sebelum baca ini, dan gue terus menunggu 'bayangan2' selanjutnya yakk..keep on writing..!!
ReplyDeleteHayukk lah kita cabut.. ciptakan bayangan sendiri tentang Medan! hehe thanks ya Bud, keep walking too :)
Delete