Sunday 28 December 2014

Ribetnya puncak Gn. Papandayan

Naik gunung ramean pertama kali :)
Tiga orang meringsuk naik kedalam bus malam itu, membangunkan saya yang duduk di kursi pertama. Masuk dari pintu depan, mereka naik persis di pinggir kawasan jalan tol. Rasanya mereka datang dari suatu celah jalan di rumah-rumah penduduk sepanjang tol Cikampek ini. Mungkin mau ke Garut juga. Rasa kaget, heran, campur lucu tapi kasian berkecamuk. Tempat duduk kan penuh?! Kesal juga sama supir kenapa menaikkan mereka. Tapi setelah melihat wajah tiga orang remaja ini saya pun kasian. Malam-malam dapat tumpangan bus ini mesti suatu pencerahan besar dalam perjalanan mereka (atau memang sudah biasa? Hadeeuh hehe). Melanjutkan tidur pun tak bisa, sibuk mengamati tiga orang baru ini yang jadinya duduk di depan saya, membelakangi kaca bus (Oke, hurrmm berasa sempit ya). Juga sibuk memperhatikan jalan karena si supir nekat ini tak pernah memberikan jarak lebih dari 1 meter dengan bus atau truk dihadapannya. Mepet banget bo!! Apesnya saya duduk depan Paak >.<

Tidur ketiga saya di masjid
Alhamdulillah selamat (fiuhh ngak lagi deh... duduk depan).

Terminal Guntur-Garut masih gelap. Bahkan adzan subuh pun belum berkumandang. Yup, bertolak dari Jakarta sepulang kerja dengan perjalanan yang tidak terlalu lama memang pasti dini hari lah saya akan sampai. Tapi ramai kawan-kawan (tak kenal) yang juga membawa carrier besar dan atribut ribet khas pendaki cukup membuat semangat mendaki saya muncul lagi setelah sebelumnya timbul tenggelam gara-gara ulah Manusia Tol dan Supir-tak-lebih-1-meter itu (langsung dapat julukan dong hehe). Mungkin mereka mau ke Cikuray, atau sama seperti saya, Papandayan.

Setelah tidur-tidur ayam di tepian masjid yang puenuh banget sama pendaki, kami solat berjamaah, nyemil-nyemil lalu cari angkutan ke Cisurupan. Banyak angkot yang akan mengantar sampai gerbang Cisurupan itu. Penuh memang seangkot, tapi saya senang karena saya berangkat dengan 4 orang teman kantor ditambah 5 orang temannya-teman, jadi biaya lebih murah (hehe). Dan ternyata memang begitulah seharusnya ketika ingin menuju Gn. Papandayan karena ketika sampai di Cisurupan, siapapun harus berganti dengan mobil bak terbuka yang mematok harga sampai ratus ribu, akan terasa lebih mahal jika pergi beberapa orang saja. Kala itu pun saya tetap ingin mengajak tim kenalan lain supaya lebih murah.

Ada masjid kok kalo mau istirahat
Mobil pick up ini cukup besar saya rasa bahkan untuk belasan orang. Setelah siapkan semuanya, kami naikkan barang-barang lalu manjat terus duduk di belakang mobil beratap langit. Nyaman? Iya kalau kita duduk depan sebelah supir. Di belakang? Siap-siap jejumpalitan karena jalanan yang berbatu, tak mulus, berlubang, berliku dan nanjak (hehe). Perjalanan tak kurang dari setengah jam ini diisi dengan banyak tawa ketika melihat badan siapa menimpa siapa, lalu sibuk memperbaiki posisi duduk atau mendengar teriakan sang pemantau “siap lubang...lubang” dan sejurus kemudian semua roboh (hehe lucu lah). Hasilnya, dijamin otot tangan dan kaki siapapun jadi lebih kuat berkat latihan ‘bertahan’ di mobil dan bisa jadi modal bagus naik gunung (haha ya kali).

Titik awal pendakian ini merupakan daerah parkir yang cukup luas, ada banyak colt parkir disana yang akan memudahkan kami ketika pulang nanti. Ada banyak warung juga disana untuk memuaskan rasa lapar tapi jangan lupa bayar retribusi masuk kawasan dulu. Sekitar 7.30 pagi kami mulai pendakian. Jalurnya cukup lebar dan berbatu. Tak berapa lama mendaki kita akan menemukan kawah Gn. Papandayan terlebih dahulu, dimana biasanya kita akan menjumpai kawah seiring dengan kita menjumpai puncak gunung. Seru ya, terasa berbeda.

Dengan kontur jalan yang kebanyakan diselingi batu kapur kami menikmati kawah sambil melanjutkan perjalanan. Sesekali (sering sih) istirahat dan nyemil (hahay). Saya dengar kala itu ada jalan lurus langsung dari kawah menuju Hutan Mati tapi memang curam (ngak mau lah), jadi kami mengikuti jalur yang ada yang ternyata masih lebar karena katanya bahkan hard top pun masuk sini (wuaah harusnya nebeng hehe). Pendakian kali ini memang lebih santai karena jalurnya yang tidak begitu jauh. Katanya gunung ini memang cocok untuk pemula (nah, pas tu buat saya).
Dari sini semua dimulai dengan berjalan kaki
Kawahnya ada di sebelah kiri (gak keliatan ya hehe)
Ditengah jalan, jalur ini putus karena longsor jadi kami memutar turun bukit lewati sungai lalu naik lagi dan bertemu dengan lanjutan jalur sebelumnya. Capek? Iya banget, jalur berbatu, turun naik, licin juga di sungai. Panas pula. Padahal pernah beberapa kali naik gunung juga. Tapi peluh tetap deras (huhu). Setelah hari cukup siang kami sampai di sebuah padang yang cukup luas setelah bukit kapur dan memutuskan beristiarat. Yang sangat mengejutkan, terutama bagi teman saya Bowo yang masih capek tak karuan mengatur nafas, ada pedagang bakso goreng lengkap dengan gerobak panggul dan tengah mendengarkan dangdut (haha) tanpa rasa capek dan biasa saja seakan ingin berkata “segitu aja kok capek... nih bawa ni bakso” kami hanya tertawa geli tanpa lupa membeli bakso camilan itu dan bercanda dengan pedagangnya. Mungkin sebenarnya menertawakan diri sendiri juga (hehe).

Sang tukang bakso perkasa
Kami putuskan pasang tenda di sana dan menghabiskan waktu dengan tiduran, ngobrol, jalan-jalan, santai lah pokoknya. Tidak pernah rasanya saya mengalami naik gunung sesantai ini. Badan saya pun memang rasanya ingin istirahat. Enaknya banyak kawan pendaki, makanan pun bisa lebih banyak jadi kami tak pernah lupa makan dan makan (hehe) diselingi ngobrol sana-sini. Kabarnya ada beberapa pendaki yang hilang dan belum ketemu sampai hari dimana saya berkemah kala itu. Hiii tak mau lah membayangkan saya ada di posisi mereka yang hilang, kabarnya kemungkinan besar pun mereka sudah tiada (innalillahi) tapi tim SAR masih dikerahkan untuk setidaknya menemukan jasad mereka (semoga dimudahkan).

Cari sinyaal!! hahay tetep ya anak kota
Malam ketika sebagian kami asyik makan (lagi) dan masak minuman hangat, kami jumpa dengan tim SAR yang kami bicarakan tadi siang. Ternyata mereka mampir ke tenda kami untuk sekedar istirahat (panjang umur.. baru diomongin). Sontak hampir semua bangun dan berbincang dengan mas-mas hebat ini. Saya hanya diam mengamati dan sesekali menawarkan makan dan minum yang pasti mereka butuhkan. Ternyata di jalur Papandayan ini ada juga yang bisa mengarah ke daerah lain seperti Bandung, Tasik, Sumedang.. hurrm semacam itulah. Dan itupula mungkin yang membuat mereka hilang. Tersesat adalah satu kata yang menakutkan di gunung. Langsung saya menatap kawan-kawan hebat sependakian saya dan tersenyum lega karena mereka semua anak pecinta alam cuuy!! (hahaha aman).

Esok paginya, mencoba melupakan ‘tersesat’, beberapa dari kami ingin mencapai puncak Papandayan. Rugi dong tak jumpa puncak gunung sudah jauh-jauh kesini. Apalagi papandayan tak lebih dari 2.665 m dpl (sok ni berasa udah pernah yang agak tinggian dikit haha). Sebagian lain memilih tiduran atau santai di tenda. Sedari pagi kami berkemas, siapkan sedikit barang bawaan dan minuman secukupnya. Kami harus kembali lagi sebelum sore karena kami harus pulang ke Jakarta. Kaki mulai menapaki jalur yang lebih sempit dari bukit-bukit kapur kemarin.

Pondok seladah adalah area pertama yang kami jumpai dan Wuooww ramai sekali disini, tak pernah saya menemukan ketika naik gunung begitu banyak tenda, orang ngobrol, lalu lalang sana sini bak perkampungan. Dataran luas ini memang tempat favorit pendaki untuk berkemah. Itulah kenapa kemarin kami tidak memutuskan menginap di Pondok Seladah. Terlalu ramai. Di tempat kami sekarang ini, hanya kami saja (hehe). 

Sesaat setelah nyemil2 hehe
Kami lanjutkan menuju Hutan Mati, lalu Tanjakan Mamang yang curam dan Tegal Alang berupa padang edelweiss yang cantik. Dari sana, kami tidak tahu kemana. Yup, tidak tahu?! karena ternyata banyak yang belum sampai ke puncak (wuaah huhuhu) bahkan tidak ada yang pernah.

Kami hanya mencari jalur lanjutannya, tim dibagi, orang-orang berpencar mencari jalan setapak selanjutnya kemana. “Susah juga” saya membatin. Mungkin itulah kenapa sebagian memilih tidur saja, mereka sudah tahu pasti sulit kah? Saya harus coba lah. Lalu akhirnya kami temukan jalur itu, turun membelah sungai lalu kemudian naik bukit lagi. Kami memang hanya bermodalkan GPS. Kami pun menyusuri jalur itu dan sedikit lega. Sejurus kemudian kami tiba di daerah yang sempit dengan vegetasi cukup rapat seperti tidak ada jalur. Kami sempat ragu, berdebat, dan diputuskan bila dalam sepuluh menit kedepan tak kunjung jumpa maka kami pulang kembali.

Kami coba cari semua jalan, bahkan berteriak-teriak karena kami merasa ada juga yang berteriak. Somehow itulah cara kita berkomunikasi saat mendaki (unik ya hehe). Sahutan kami seperti dibalas oleh seseorang. Yup, sedikit harapan muncul. Akirnya kami terus teriak dan mengamati arah balasannya. Baik sekali orang itu mau terus membalas sahutan kami. Dan berkat teriakan ini kami sampai di puncak Papandayan. Ternyata disana sudah ada sekelompok mas dan mba yang sedang santai tanpa ada muka capek dan bingung seperti kami malah sempat membalas teriakan kami. Alhamdulillah. Kami berterimakasih juga sama mereka karena membantu. Saya tidak mau kata tersesat itu menempel di kami.


Salah satu pemandangan cantik di Gn.papandayan. Indah kan!
Puncak Gn. Papandayan tidak begitu luas. Kami sampai bertanya kepada tim yang lebih dulu itu “udah sampai puncak ?”. Okey, puas menikmati dan foto-foto (hehe) kami lanjutkan istirahat dan makan (tetep). Lalu beberapa menit setelah tim sebelumnya turun kami pun turun kembali menapaki rute menuju tenda. Ternyata setiap gunung memang punya tantangannya masing-masing. Alam tetap tidak mengenal siapa kita, seberapa sering atau jarangnya kita mendaki. Harus waspada. Maka tak sangka, walau tidak terlalu tinggi tapi sulit mencapai puncak Papandayan ini. Akhirnya saya senang dan bersyukur kembali selamat ke Jakarta, cuma tas Ahmad saja yang kurang beruntung, terjatuh ditengah jalan ketika diikat diatas angkot yang melaju menuju Terminal Garut (hehe). Yang kuat dong mang ngiketnya!!

Saturday 27 December 2014

Bali : Beautiful Uluwatu

Salah satu pendopo di Ubud Palace
Di belahan selatan Bali, saya menemukan seni dan keindahan yang tak kalah cantik dengan daerah lainnya. Pantai-pantai mempesona yang sebagian besar belum terlalu ramai, tebing-tebing tinggi dengan pemandangan samudra biru luas, tarian kolosal sampai seni ukir yang indah serta nikmatnya bersantap masakan laut saat senja. Dan semua itu bisa didapatkan dalam satu hari. Yup, Pulau Dewata ini seakan tak ada habisnya.

Ubud, tempat saya sebelumnya menghabiskan waktu memang menyisakan pengalaman haru, menyenangkan bahkan terkadang magis. Saya menemukan Bali dengan semua budaya luhur dan alam asrinya disana. (Sebelumnya Bali : Unforgettable Ubud) Perjalanan menuju Uluwatu di selatan Bali pun turut menyisakan harapan untuk bisa menemukan keindahan lainnya, wajah Bali yang lain. Kendaraan kami melaju cepat menelusuri By Pass Ngurah Rai, jalan raya besar yang hampir membuat kami tersesat masuk ke jalan tol baru diatas laut itu (tapi mau juga sih coba hehe). Setelah berkendara hampir empat puluh menit dari Kuta, melewati Bandara Ngurah Rai serta kampus Udayana kami mampir di kawasan Taman Budaya GWK atau Garuda Wisnu Kencana. Sebuah taman cantik di areal luas yang direncanakan akan dibuat landmark Bali berupa patung Dewa Wisnu raksasa yang menunggangi Garuda.

Kebayang ya gimana dua patung ini kalo bersatu. Guede Banget!!!



















Nanti kaya gini jadinya

Di GWK, kita akan menemukan patung dewa Wisnu di plaza Wisnu dan patung Garuda di plaza yang lain yang masih terpisah. Memang sangat besar dan pasti akan megah sekali ketika nanti patung tersebut dibentuk utuh satu kesatuan. Sekarang saja pun sudah membuat saya terpesona (aiihh). Di GWK ini juga ada teater pertunjukan untuk menonton tari di jam-jam tertentu setiap harinya sampai labirin dari tebing cantik yang eksotis sekali di kawasan plaza Garuda. Sejak awal datang saya puas nonton tari, foto-foto, jalan-jalan dari satu plaza ke plaza yang lain, ke lotus pond sampai foto narsis di pinggir tebing-tebing kapur itu. Tari kecak pun ternyata dipertontonkan di GWK menjelang malam, tapi saya tidak menetap lama karena masih harus memburu destinasi selanjutnya.

Kami ingin menikmati pantai selatan Bali yang katanya tersembunyi dan cantik-cantik. Sebut saja pantai Balangan, pantai Padang-padang dan pantai Dreamland yang jadi surganya peselancar dunia plus ditambah pemandangan tebing cantik di sekitar pantai. Tak sabar, berbekal perut kenyang hasil ngantri di restoran cepat saji yang terkenal seantero dunia (cari yang aman dan cepat saja haha) kami segera menuju kawasan Pecatu. Orang bilang jalannya ribet, kecil, susah lah. GPS bawaan telepon genggam pun jadi panduan arah kami. Jalanan kecil yang banyak dimaksud orang pun mulai kami jajali lalu jalanan mulai berpasir tanda dekat dengan kawasan pantai, kemudian laut biru nampak dikejauhan (sampai bau laut pun rasanya tercium hehe) tapi kemudian kami mulai masuk ke kawasan sepi, lalu rumah warga, jalanan rusak, berbatu, laut masih tetap tampak jauh hanya terlihat birunya saja, dan tak ada pantai.

Kami berhenti, Fiuhh! kami tersesaaat (hehe) dan ini bukan yang pertama memang. Dialog singkat sampai debat terjadi, akhirnya bye-bye­ pantai karena kami harus ke Uluwatu. Tiket yang sudah saya pesan untuk pertunjukan tari Kecak di Pura Uluwatu tidak boleh terlewat. Belum kalo tersesat lagi, jadi jam 4 sore kami sudah langsung menuju Uluwatu. Mungkin belum jodoh sama si Dreamland. But let us see the beautiful GWK first (hehe)

Pertunjukan tari di Amphiteather. Menarik :) beberapa kali dipertunjukan sehari
Ini dia si tebing batu-batu kapur. Kita bisa menelusuri lorongnya yang seperti labirin
Narsis lah.. udah pake barong gitu loh :) Ada Garuda dan Wisnu jg. Lengkap!!
Mujur jalanan mulus serta ramai kendaraan menuju Uluwatu (yang menandakan kami di jalan yang benar hehe). Tidak sampai satu jam saya sampai di pelataran parkir Kawasan Pura Uluwatu. Dan ada monyet-monyet lagi!! Aduuh!! Saya melipir ke loket pura, ternyata harus bayar lagi sekitar dua puluhribuan dan ini diluar tiket kecak saya. Oia, beli tiket kecaknya online saja karena lebih murah dibandingkan beli ditempat. Lalu kita akan diberi selendang untuk menuju Pura (ssstt saya sengaja pakai celana pendek biar dikasih kain. Suka lah pake kain begini, ala-ala Bli gitu hahay). Dan saya pun mulai berjalan kaki bersama puluhan mungkin ratusan wisatawan (yang sebagian besar bule) menapaki rute menuju Pura.

Ketika lautan mulai terlihat, pemandangannya luar biasa indah. Kita akan berada di sisi tebing tinggi dengan pemandangan samudra luas. Dan nampak Pura diujung tebing yang lain. Tebing ini aman karena dikelilingi pagar, saya pun begitu bebas menikmati lautan sejauh mata memandang, menghirup udara segar, melepaskan penat sambil terkagum akan keindahannya. Pura Uluwatu sendiri awalnya adalah tempat memuja seorang pendeta suci dari abad ke-11 bernama Empu Kuturan karena ajaran-ajarannya serta pendeta Dang Hyang Nirartha yang mengakhiri perjalan sucinya dengan apa yang disebut Moksah atau Ngeluhur di tempat ini, itu juga yang menjadi asal nama Uluwatu.
 
So beautiful right? Pura ini dipercaya sebagai penyangga dari 9 mata angin
Pura Uluwatu adalah tempat terbaik nonton Kecak :)
Setelah puas berkeliling pura, saat sore tiba saya segera menuju tempat pementasan tari Kecak Uluwatu yang terkenal itu. Buat saya, menonton tari kecak disini adalah yang terbaik. Di kawasan daerah tinggi (tebing), ditemani pemandangan lautan saat senja dan tebing cantik lainnya dikejauhan. Lengkap rasanya. Diawali doa oleh seorang bapak paruh baya, sesajian khas Bali tak luput dari tangannya, dimulailah kisah Rama Sinta serta Rahwana yang melegenda itu, plus kehadiran Hanoman si Kera Putih yang ditunggu-tunggu. Tak ayal banyak penonton terkesima oleh permainan api, tertawa oleh tingkah Hanoman yang interaktif sampai terkagum dengan paduan indah tari dan harmonisnya suara ‘cak-cak’ yang dibawakan puluhan pria. Ah, terasa lagi ‘Bali banget’nya. Saya senang bisa sampai disini.

Malam tiba, saatnya saya meninggalkan Uluwatu (oia, pas pulang ada ibu2 rebutan tasnya sama monyet di kawasan pura itu hiii). Saya berkendara kembali menuju arah Kuta dan mampir di Jimbaran. Kumpulan resto pinggir pantai sudah menunggu disana. Bagi siapa saja yang ke Bali pasti tidak akan melewatkan Jimbaran ini. Tempat yang nyaman pinggir pantai, ditemani lampu remang, pemandangan lampu bandara dan tinggal landasnya pesawat dikejauhan, dan suara ombak yang tenang. Pasti santap makan malamnya jadi lebih syahdu (ahay). Sempat tersesat juga sebenarnya kesini (tetep ya). Alhasil, perut kenyang, jalan-jalan puas dan hati juga senang. Jadi, siapa yang tak mau ke Bali?

Siapapun betah berlama-lama lah di Jimbaran. Oia ada pemusik keliling ke Meja loh

Pantai Pecatu, 97 meter dibawah pura juga jadi tempat perlombaan selancar
Percaya kan? Uluwatu jadi tempat terbaik nonton Kecak. Sunseett!!! :)


Sunday 7 December 2014

Bali : Unforgettable Ubud

Alam dataran tinggi kawasan Bedugul jadi teman perjalanan saya meninggalkan Pura Ulun Danu di danau Beratan yang aduhai indahnya. Bukit-bukit berselimut awan diatas danau birunya itu benar-benar memanjakan
mata. Ditambah udaranya yang sejuk, saya pun cepat lapar dan dengan lahap menghabiskan ayam betutu (dan kawan-kawannya) yang saya pesan disana. Terbayar sudah capeknya satu jam berkendara motor dari Kuta.

Di sepanjang perjalanan pulang ini saya termenung sendiri. Bali, begitu berbeda dengan (tentunya) Pulau Jawa, tempat saya dibesarkan. Budaya yang mengakar kuat di masayarakat dan semua penampakan bangunan khasnya benar-benar sukses membuat saya merasa asing. Sebut saja pura, dupa, sesajian bunga-bunga berwarna didepan setiap rumah bahkan dipinggir jalan sampai banyaknya resto Babi Guling (hehe) adalah pemandangan yang jarang saya lihat di Jawa. Sekaligus kagum dan senang, karena Bali dengan semua pemandangan menakjubkan, budaya dan masyarakat Hindunya entah bagaimana begitu tampak eksotis, cantik, ah bagaimana ya bilangnya, coba sajalah googling, pasti mengerti apa yang saya maksud (hehe).

Di salah satu sudut Ubud
Ubud adalah tujuan saya. Selain alam yang cantik, saya selalu ingin ke Bali untuk melihat langsung kebudayaan tinggi, sejarah bahkan mitos yang tersemat disetiap bangunan bersejarahnya yang menjadikan Bali dan masyarakatnya tampak sulit untuk dilupakan. Dan Ubud, menurut saya adalah tempat yang paling tepat untuk menemukan itu semua, sehingga saya selalu ingin bisa bermalam disana yang akhirnya tercapai, Yeay!

“Ada yang salah dengan ban motornya!” batin saya.
Lamunan saya buyar berganti perasaan kaget. Ban motor kami bocor. Tengok sana-sini dan ternyata Tuhan masih sayang dengan kami. Hanya bermodal dorong motor beberapa langkah kami sudah tiba di bengkel yang setelah menunggu beberapa lama, abang montir bilang “Wah tambalan yang sebelumnya bocor mas, bisa aja ditambal lagi tapi mungkin bisa bocor lagi” yang segera saya tahu maksudnya adalah “beli ban dalam baru aja mas” lalu cepat berpikir bahwa ini motor sewaan tapi sejurus kemudian sepakat karena hari sudah sangat sore dan mau cepat sampai. Waduh enak niy Ichi Bike Rent (hehe peace ah mas Ferry).

Banyak penginapan murah
dan nyaman di Ubud :)
Omah D’taman Guest House yang ada di Jl.Sriwedari adalah pilihan kami untuk menginap. Karena insiden ban bocor, kami tiba di Ubud saat hari sudah beranjak malam. Dan ternyata sulit sekali untuk mencapai Sriwedari, bukan karena daerahnya terpencil tapi pertama, kami tersesat ke hotel dengan nama yang mirip, lalu kedua harus putar balik cari alternatif karena jalan utama ditutup untuk keperluan acara keagamaan. Kalau yang ini spontan saya girang. Bagaimana tidak, baru sampai Ubud saya sudah disuguhi pemandangan arak-arakan warga dalam balutan safari/kebaya putih berhias udeng (ikat kepala pria) atau senteng (selendang wanita) dan dilengkapi dengan kamen atau kain besar yang menutupi tubuh bagian bawah. Sesajian untuk upacara, bunga kamboja/jepun putih kuning yang tersemat tak ayal membuat saya terkagum sendiri. Musik/gamelan khas bali yang ditabuh cepat dan lantang pun dimainkan dari atas truk oleh warga. Aih, luhurnya budaya ini. Bali banget.

Tenangnya teras Omah D'Taman, sebelum sarapan diantar :)
Mereka menuju pura dekat jembatan di Jl Raya Ubud yang tadi ketika tersesat sempat saya lihat. Saya pun coba melihat perayaan tersebut, walau dari jauh. Pura Gunung Lebah namanya, dan malam itu memang dipenuhi banyak sekali warga yang merayakan Hari Raya Tumpek Landep. Banyak sekali bambu kuning melengkung berhias janur (Penjor) mengelilingi Pura. Alunan doa dan musik terdengar dari Pura. Ramai dan sakral upacara malam itu. Jalanan sekitarnya karuan macet. Tapi saya rela demi melirik perayaan ini. Pura Gunung Lebah yang dibangun abad 8 masehi ini memang punya sejarah penting karena merupakan cikal bakal lahirnya desa Ubud.
  
Selepas melirik perayaan Tumpek Landep kami mulai kelaparan dan jalan kaki cari makan. Jalan kaki malam hari jadi pilihan pas dan bijak untuk menikmati Ubud. Tak ada jalanan lebar ala ibukota. Yang ada hanya jalanan beraspal kecil dengan deretan resto dan butik taraf internasional menyatu dengan pura-pura cantik bak istana kerajaan Hindu dulu. Semua denyut kehidupan malamnya begitu terasa pelan, tenang, nyaman, berbeda sekali dengan Kuta apalagi ditambah pemandangan khas warga yang berbalut busana adat hilir mudik sibuk dengan perayaan keagamaannya. Ternyata susah juga cari makanan halal untuk kami (hehe) sampai akhirnya saya temukan restoran bertuliskan borneo yang menyematkan logo ‘halal’ dengan aneka masakan seafood yang cukup lezat nampaknya. Bicara harga? Rasanya ingin teriak “jangan samakan saya dengan bule-bule itu”. >_<

Salah satu upacara di Pura Tirtha Empul
Daya tarik ubud sebagai pusat budaya Bali memang seperti magnet kuat yang menarik banyak wisatawan dari seluruh dunia. Banyak sejarah yang bisa kita pelajari, lukisan yang bisa kita nikmati, pertunjukan tari yang bisa kita saksikan, atau sekedar bersepeda dan leyeh-leyeh di kamar hotel/guesthouse murah dan nyaman yang bertebaran di Ubud. Semua sangat menyenangkan, seakan waktu tak pernah jadi masalah dan buru-buru tidak pernah jadi kata favorit. Tempat wisatanya pun juara. Sekali ini saya ke Ubud, saya selalu rindu dan selalu ingin datang lagi.

Lets hear another stories from my pics...
Jalan-jalan di Pasar Ubud tidak ada salahnya, banyak lukisan cantik
pintar-pintarlah menawar :)
Mandala Wisata Wenara Wana (Monkey forest), gak masuk, takut! :p
trauma sama binatang satu itu (haha) sepertinya adem banget didalam, dan ada pura juga.
Ubud Palace, lokasi ini dekat sekali di pusat Jl. Raya Ubud
berdekatan dengan Museum Puri Lukisan yang mahal tapi bagus itu (hehe)
Goa Gajah, yang masih dalam daftar tunggu UNESCO untuk warisan budaya.
Disana juga terdapat kolam pemandian yang diisi banyak arca, mampir ya!
Pura Tirtha Empul, bukan Tampak Siring. TS itu istana presiden :)
tapi kenapa kalo cari tampak siring selalu kesini merujuknya (haha) kami tersesat karena itu.
Inilah icon Ubud yang selalu saya cari dan ingin melihat langsung. Beautiful!
Terasering di Desa Tegalalang dengan sistem pengairan Subak yang merupakan Warisan Budaya UNESCO

Selanjutnya saya ingin menjelajahi daerah selatan Bali, Uluwatu.