Sunday, 28 December 2014

Ribetnya puncak Gn. Papandayan

Naik gunung ramean pertama kali :)
Tiga orang meringsuk naik kedalam bus malam itu, membangunkan saya yang duduk di kursi pertama. Masuk dari pintu depan, mereka naik persis di pinggir kawasan jalan tol. Rasanya mereka datang dari suatu celah jalan di rumah-rumah penduduk sepanjang tol Cikampek ini. Mungkin mau ke Garut juga. Rasa kaget, heran, campur lucu tapi kasian berkecamuk. Tempat duduk kan penuh?! Kesal juga sama supir kenapa menaikkan mereka. Tapi setelah melihat wajah tiga orang remaja ini saya pun kasian. Malam-malam dapat tumpangan bus ini mesti suatu pencerahan besar dalam perjalanan mereka (atau memang sudah biasa? Hadeeuh hehe). Melanjutkan tidur pun tak bisa, sibuk mengamati tiga orang baru ini yang jadinya duduk di depan saya, membelakangi kaca bus (Oke, hurrmm berasa sempit ya). Juga sibuk memperhatikan jalan karena si supir nekat ini tak pernah memberikan jarak lebih dari 1 meter dengan bus atau truk dihadapannya. Mepet banget bo!! Apesnya saya duduk depan Paak >.<

Tidur ketiga saya di masjid
Alhamdulillah selamat (fiuhh ngak lagi deh... duduk depan).

Terminal Guntur-Garut masih gelap. Bahkan adzan subuh pun belum berkumandang. Yup, bertolak dari Jakarta sepulang kerja dengan perjalanan yang tidak terlalu lama memang pasti dini hari lah saya akan sampai. Tapi ramai kawan-kawan (tak kenal) yang juga membawa carrier besar dan atribut ribet khas pendaki cukup membuat semangat mendaki saya muncul lagi setelah sebelumnya timbul tenggelam gara-gara ulah Manusia Tol dan Supir-tak-lebih-1-meter itu (langsung dapat julukan dong hehe). Mungkin mereka mau ke Cikuray, atau sama seperti saya, Papandayan.

Setelah tidur-tidur ayam di tepian masjid yang puenuh banget sama pendaki, kami solat berjamaah, nyemil-nyemil lalu cari angkutan ke Cisurupan. Banyak angkot yang akan mengantar sampai gerbang Cisurupan itu. Penuh memang seangkot, tapi saya senang karena saya berangkat dengan 4 orang teman kantor ditambah 5 orang temannya-teman, jadi biaya lebih murah (hehe). Dan ternyata memang begitulah seharusnya ketika ingin menuju Gn. Papandayan karena ketika sampai di Cisurupan, siapapun harus berganti dengan mobil bak terbuka yang mematok harga sampai ratus ribu, akan terasa lebih mahal jika pergi beberapa orang saja. Kala itu pun saya tetap ingin mengajak tim kenalan lain supaya lebih murah.

Ada masjid kok kalo mau istirahat
Mobil pick up ini cukup besar saya rasa bahkan untuk belasan orang. Setelah siapkan semuanya, kami naikkan barang-barang lalu manjat terus duduk di belakang mobil beratap langit. Nyaman? Iya kalau kita duduk depan sebelah supir. Di belakang? Siap-siap jejumpalitan karena jalanan yang berbatu, tak mulus, berlubang, berliku dan nanjak (hehe). Perjalanan tak kurang dari setengah jam ini diisi dengan banyak tawa ketika melihat badan siapa menimpa siapa, lalu sibuk memperbaiki posisi duduk atau mendengar teriakan sang pemantau “siap lubang...lubang” dan sejurus kemudian semua roboh (hehe lucu lah). Hasilnya, dijamin otot tangan dan kaki siapapun jadi lebih kuat berkat latihan ‘bertahan’ di mobil dan bisa jadi modal bagus naik gunung (haha ya kali).

Titik awal pendakian ini merupakan daerah parkir yang cukup luas, ada banyak colt parkir disana yang akan memudahkan kami ketika pulang nanti. Ada banyak warung juga disana untuk memuaskan rasa lapar tapi jangan lupa bayar retribusi masuk kawasan dulu. Sekitar 7.30 pagi kami mulai pendakian. Jalurnya cukup lebar dan berbatu. Tak berapa lama mendaki kita akan menemukan kawah Gn. Papandayan terlebih dahulu, dimana biasanya kita akan menjumpai kawah seiring dengan kita menjumpai puncak gunung. Seru ya, terasa berbeda.

Dengan kontur jalan yang kebanyakan diselingi batu kapur kami menikmati kawah sambil melanjutkan perjalanan. Sesekali (sering sih) istirahat dan nyemil (hahay). Saya dengar kala itu ada jalan lurus langsung dari kawah menuju Hutan Mati tapi memang curam (ngak mau lah), jadi kami mengikuti jalur yang ada yang ternyata masih lebar karena katanya bahkan hard top pun masuk sini (wuaah harusnya nebeng hehe). Pendakian kali ini memang lebih santai karena jalurnya yang tidak begitu jauh. Katanya gunung ini memang cocok untuk pemula (nah, pas tu buat saya).
Dari sini semua dimulai dengan berjalan kaki
Kawahnya ada di sebelah kiri (gak keliatan ya hehe)
Ditengah jalan, jalur ini putus karena longsor jadi kami memutar turun bukit lewati sungai lalu naik lagi dan bertemu dengan lanjutan jalur sebelumnya. Capek? Iya banget, jalur berbatu, turun naik, licin juga di sungai. Panas pula. Padahal pernah beberapa kali naik gunung juga. Tapi peluh tetap deras (huhu). Setelah hari cukup siang kami sampai di sebuah padang yang cukup luas setelah bukit kapur dan memutuskan beristiarat. Yang sangat mengejutkan, terutama bagi teman saya Bowo yang masih capek tak karuan mengatur nafas, ada pedagang bakso goreng lengkap dengan gerobak panggul dan tengah mendengarkan dangdut (haha) tanpa rasa capek dan biasa saja seakan ingin berkata “segitu aja kok capek... nih bawa ni bakso” kami hanya tertawa geli tanpa lupa membeli bakso camilan itu dan bercanda dengan pedagangnya. Mungkin sebenarnya menertawakan diri sendiri juga (hehe).

Sang tukang bakso perkasa
Kami putuskan pasang tenda di sana dan menghabiskan waktu dengan tiduran, ngobrol, jalan-jalan, santai lah pokoknya. Tidak pernah rasanya saya mengalami naik gunung sesantai ini. Badan saya pun memang rasanya ingin istirahat. Enaknya banyak kawan pendaki, makanan pun bisa lebih banyak jadi kami tak pernah lupa makan dan makan (hehe) diselingi ngobrol sana-sini. Kabarnya ada beberapa pendaki yang hilang dan belum ketemu sampai hari dimana saya berkemah kala itu. Hiii tak mau lah membayangkan saya ada di posisi mereka yang hilang, kabarnya kemungkinan besar pun mereka sudah tiada (innalillahi) tapi tim SAR masih dikerahkan untuk setidaknya menemukan jasad mereka (semoga dimudahkan).

Cari sinyaal!! hahay tetep ya anak kota
Malam ketika sebagian kami asyik makan (lagi) dan masak minuman hangat, kami jumpa dengan tim SAR yang kami bicarakan tadi siang. Ternyata mereka mampir ke tenda kami untuk sekedar istirahat (panjang umur.. baru diomongin). Sontak hampir semua bangun dan berbincang dengan mas-mas hebat ini. Saya hanya diam mengamati dan sesekali menawarkan makan dan minum yang pasti mereka butuhkan. Ternyata di jalur Papandayan ini ada juga yang bisa mengarah ke daerah lain seperti Bandung, Tasik, Sumedang.. hurrm semacam itulah. Dan itupula mungkin yang membuat mereka hilang. Tersesat adalah satu kata yang menakutkan di gunung. Langsung saya menatap kawan-kawan hebat sependakian saya dan tersenyum lega karena mereka semua anak pecinta alam cuuy!! (hahaha aman).

Esok paginya, mencoba melupakan ‘tersesat’, beberapa dari kami ingin mencapai puncak Papandayan. Rugi dong tak jumpa puncak gunung sudah jauh-jauh kesini. Apalagi papandayan tak lebih dari 2.665 m dpl (sok ni berasa udah pernah yang agak tinggian dikit haha). Sebagian lain memilih tiduran atau santai di tenda. Sedari pagi kami berkemas, siapkan sedikit barang bawaan dan minuman secukupnya. Kami harus kembali lagi sebelum sore karena kami harus pulang ke Jakarta. Kaki mulai menapaki jalur yang lebih sempit dari bukit-bukit kapur kemarin.

Pondok seladah adalah area pertama yang kami jumpai dan Wuooww ramai sekali disini, tak pernah saya menemukan ketika naik gunung begitu banyak tenda, orang ngobrol, lalu lalang sana sini bak perkampungan. Dataran luas ini memang tempat favorit pendaki untuk berkemah. Itulah kenapa kemarin kami tidak memutuskan menginap di Pondok Seladah. Terlalu ramai. Di tempat kami sekarang ini, hanya kami saja (hehe). 

Sesaat setelah nyemil2 hehe
Kami lanjutkan menuju Hutan Mati, lalu Tanjakan Mamang yang curam dan Tegal Alang berupa padang edelweiss yang cantik. Dari sana, kami tidak tahu kemana. Yup, tidak tahu?! karena ternyata banyak yang belum sampai ke puncak (wuaah huhuhu) bahkan tidak ada yang pernah.

Kami hanya mencari jalur lanjutannya, tim dibagi, orang-orang berpencar mencari jalan setapak selanjutnya kemana. “Susah juga” saya membatin. Mungkin itulah kenapa sebagian memilih tidur saja, mereka sudah tahu pasti sulit kah? Saya harus coba lah. Lalu akhirnya kami temukan jalur itu, turun membelah sungai lalu kemudian naik bukit lagi. Kami memang hanya bermodalkan GPS. Kami pun menyusuri jalur itu dan sedikit lega. Sejurus kemudian kami tiba di daerah yang sempit dengan vegetasi cukup rapat seperti tidak ada jalur. Kami sempat ragu, berdebat, dan diputuskan bila dalam sepuluh menit kedepan tak kunjung jumpa maka kami pulang kembali.

Kami coba cari semua jalan, bahkan berteriak-teriak karena kami merasa ada juga yang berteriak. Somehow itulah cara kita berkomunikasi saat mendaki (unik ya hehe). Sahutan kami seperti dibalas oleh seseorang. Yup, sedikit harapan muncul. Akirnya kami terus teriak dan mengamati arah balasannya. Baik sekali orang itu mau terus membalas sahutan kami. Dan berkat teriakan ini kami sampai di puncak Papandayan. Ternyata disana sudah ada sekelompok mas dan mba yang sedang santai tanpa ada muka capek dan bingung seperti kami malah sempat membalas teriakan kami. Alhamdulillah. Kami berterimakasih juga sama mereka karena membantu. Saya tidak mau kata tersesat itu menempel di kami.


Salah satu pemandangan cantik di Gn.papandayan. Indah kan!
Puncak Gn. Papandayan tidak begitu luas. Kami sampai bertanya kepada tim yang lebih dulu itu “udah sampai puncak ?”. Okey, puas menikmati dan foto-foto (hehe) kami lanjutkan istirahat dan makan (tetep). Lalu beberapa menit setelah tim sebelumnya turun kami pun turun kembali menapaki rute menuju tenda. Ternyata setiap gunung memang punya tantangannya masing-masing. Alam tetap tidak mengenal siapa kita, seberapa sering atau jarangnya kita mendaki. Harus waspada. Maka tak sangka, walau tidak terlalu tinggi tapi sulit mencapai puncak Papandayan ini. Akhirnya saya senang dan bersyukur kembali selamat ke Jakarta, cuma tas Ahmad saja yang kurang beruntung, terjatuh ditengah jalan ketika diikat diatas angkot yang melaju menuju Terminal Garut (hehe). Yang kuat dong mang ngiketnya!!

7 comments:

  1. mendaki gunung...+_+
    pasti banyak nyamuk,panas dan kurang rehat...
    semangat seh bay

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe iya betul jg..
      Tapi bagus pemandangannya jd semangat lg

      Delete
  2. Mas, saya kemarin hbs mendaki gn. Papandayan. Saya tidak sampai ke puncak nya, tp jujur saya masih penasaran ingin ke sana, sebagian besar team pendaki yg saya tanya mereka blm pernah sampai puncak. Ada tanda klo itu puncak atau bukan dari mana?

    ReplyDelete
  3. Mas, saya kemarin hbs mendaki gn. Papandayan. Saya tidak sampai ke puncak nya, tp jujur saya masih penasaran ingin ke sana, sebagian besar team pendaki yg saya tanya mereka blm pernah sampai puncak. Ada tanda klo itu puncak atau bukan dari mana?

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah memang kecil ya puncaknya, kami juga tahu karena ada yang sudah sampai disana duluan dan kasih tahu. Tapi rasnaya memang ada tulisan juga sih (walau gak resmi tu tulisannya seingat saya)

      Delete
  4. 180217 kmrn sy jg k ppndyn..mmng aneh jk dbndng gnung gde yg 2985 mdpl mka gnng ppndyn yg 2622 srasa sngat rendah bnget. Kra2 3 jam sdh smp taman salada.trus k htan mati...lalu tegal alun kra2 2 jam (sdh sm fto2heheh) dl jutkan dng rute bingung... K knnan tgal alun ktemu danau... Lrus dr tgal alun llu truni lembah..me.aimi bukit yg terbakar..ktanya itu puncak bayangan..nah punc pass/2622 ppndyan ktanya ada d sblah kiri puncak byngan...mnuruni lwmbah lagi...trus mnaiki bukit.nah puncaknya..ktanya..katanya lho..itu sjatinya puncak pas papandayn...ribet..klo g kburu waktu wat balik lerja mu.gkin djabanin..smgas suatu saat mo kppndyn lgi dan bsa jd guide..

    ReplyDelete
  5. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete