Naik gunung ramean pertama kali :) |
Tiga orang meringsuk naik
kedalam bus malam itu, membangunkan saya yang duduk di kursi pertama. Masuk
dari pintu depan, mereka naik persis di pinggir kawasan jalan tol. Rasanya
mereka datang dari suatu celah jalan di rumah-rumah penduduk sepanjang tol
Cikampek ini. Mungkin mau ke Garut juga. Rasa kaget, heran, campur lucu tapi
kasian berkecamuk. Tempat duduk kan penuh?! Kesal juga sama supir kenapa
menaikkan mereka. Tapi setelah melihat wajah tiga orang remaja ini saya pun
kasian. Malam-malam dapat tumpangan bus ini mesti suatu pencerahan besar dalam perjalanan mereka (atau memang sudah biasa? Hadeeuh hehe). Melanjutkan tidur pun tak bisa, sibuk mengamati tiga orang baru ini yang jadinya duduk di depan saya, membelakangi kaca bus (Oke, hurrmm berasa sempit ya). Juga sibuk memperhatikan jalan karena si supir nekat ini tak pernah memberikan
jarak lebih dari 1 meter dengan bus atau truk dihadapannya. Mepet banget bo!! Apesnya saya duduk
depan Paak >.<
Tidur ketiga saya di masjid |
Alhamdulillah selamat
(fiuhh ngak lagi deh... duduk depan).
Terminal Guntur-Garut
masih gelap. Bahkan adzan subuh pun belum berkumandang. Yup, bertolak dari
Jakarta sepulang kerja dengan perjalanan yang tidak terlalu lama memang pasti
dini hari lah saya akan sampai. Tapi ramai kawan-kawan (tak kenal) yang juga
membawa carrier besar dan atribut
ribet khas pendaki cukup membuat semangat mendaki saya muncul lagi setelah
sebelumnya timbul tenggelam gara-gara ulah Manusia Tol dan
Supir-tak-lebih-1-meter itu (langsung dapat julukan dong hehe). Mungkin mereka
mau ke Cikuray, atau sama seperti saya, Papandayan.
Setelah tidur-tidur ayam
di tepian masjid yang puenuh banget sama pendaki, kami solat berjamaah,
nyemil-nyemil lalu cari angkutan ke Cisurupan. Banyak angkot yang akan
mengantar sampai gerbang Cisurupan itu. Penuh memang seangkot, tapi saya
senang karena saya berangkat dengan 4 orang teman kantor ditambah 5 orang temannya-teman,
jadi biaya lebih murah (hehe). Dan ternyata memang begitulah seharusnya ketika
ingin menuju Gn. Papandayan karena ketika sampai di Cisurupan, siapapun harus
berganti dengan mobil bak terbuka yang mematok harga sampai ratus ribu, akan
terasa lebih mahal jika pergi beberapa orang saja. Kala itu pun saya tetap ingin mengajak tim kenalan lain supaya lebih murah.
Ada masjid kok kalo mau istirahat |
Mobil pick up ini cukup besar saya rasa bahkan
untuk belasan orang. Setelah siapkan semuanya, kami naikkan barang-barang lalu
manjat terus duduk di belakang mobil beratap langit. Nyaman? Iya kalau kita
duduk depan sebelah supir. Di belakang? Siap-siap jejumpalitan karena jalanan yang berbatu, tak mulus, berlubang,
berliku dan nanjak (hehe). Perjalanan tak kurang dari setengah jam ini diisi
dengan banyak tawa ketika melihat badan siapa menimpa siapa, lalu sibuk
memperbaiki posisi duduk atau mendengar teriakan sang pemantau “siap lubang...lubang” dan sejurus kemudian semua
roboh (hehe lucu lah). Hasilnya, dijamin otot tangan dan kaki siapapun jadi
lebih kuat berkat latihan ‘bertahan’ di mobil dan bisa jadi modal bagus naik
gunung (haha ya kali).
Titik awal pendakian ini merupakan
daerah parkir yang cukup luas, ada banyak colt
parkir disana yang akan memudahkan kami ketika pulang nanti. Ada banyak warung juga
disana untuk memuaskan rasa lapar tapi jangan lupa bayar retribusi masuk
kawasan dulu. Sekitar 7.30 pagi kami mulai pendakian. Jalurnya cukup lebar dan
berbatu. Tak berapa lama mendaki kita akan menemukan kawah Gn. Papandayan
terlebih dahulu, dimana biasanya kita akan menjumpai kawah seiring dengan kita
menjumpai puncak gunung. Seru ya, terasa berbeda.
Dengan kontur jalan yang kebanyakan diselingi batu kapur kami menikmati kawah sambil melanjutkan perjalanan. Sesekali (sering sih) istirahat dan nyemil (hahay). Saya dengar kala itu ada jalan lurus langsung dari kawah menuju Hutan Mati tapi memang curam (ngak mau lah), jadi kami mengikuti jalur yang ada yang ternyata masih lebar karena katanya bahkan hard top pun masuk sini (wuaah harusnya nebeng hehe). Pendakian kali ini memang lebih santai karena jalurnya yang tidak begitu jauh. Katanya gunung ini memang cocok untuk pemula (nah, pas tu buat saya).
Dengan kontur jalan yang kebanyakan diselingi batu kapur kami menikmati kawah sambil melanjutkan perjalanan. Sesekali (sering sih) istirahat dan nyemil (hahay). Saya dengar kala itu ada jalan lurus langsung dari kawah menuju Hutan Mati tapi memang curam (ngak mau lah), jadi kami mengikuti jalur yang ada yang ternyata masih lebar karena katanya bahkan hard top pun masuk sini (wuaah harusnya nebeng hehe). Pendakian kali ini memang lebih santai karena jalurnya yang tidak begitu jauh. Katanya gunung ini memang cocok untuk pemula (nah, pas tu buat saya).
Dari sini semua dimulai dengan berjalan kaki |
Kawahnya ada di sebelah kiri (gak keliatan ya hehe) |
Ditengah jalan, jalur ini
putus karena longsor jadi kami memutar turun bukit lewati sungai lalu naik lagi
dan bertemu dengan lanjutan jalur sebelumnya. Capek? Iya banget, jalur berbatu,
turun naik, licin juga di sungai. Panas pula. Padahal pernah beberapa kali naik
gunung juga. Tapi peluh tetap deras (huhu). Setelah hari cukup siang kami
sampai di sebuah padang yang cukup luas setelah bukit kapur dan memutuskan beristiarat.
Yang sangat mengejutkan, terutama bagi teman saya Bowo yang masih capek tak
karuan mengatur nafas, ada pedagang bakso goreng lengkap dengan gerobak panggul
dan tengah mendengarkan dangdut (haha) tanpa rasa capek dan biasa saja seakan
ingin berkata “segitu aja kok capek... nih bawa ni bakso” kami hanya tertawa
geli tanpa lupa membeli bakso camilan itu dan bercanda dengan pedagangnya.
Mungkin sebenarnya menertawakan diri sendiri juga (hehe).
Sang tukang bakso perkasa |
Kami putuskan pasang
tenda di sana dan menghabiskan waktu dengan tiduran, ngobrol, jalan-jalan,
santai lah pokoknya. Tidak pernah rasanya saya mengalami naik gunung sesantai
ini. Badan saya pun memang rasanya ingin istirahat. Enaknya banyak kawan
pendaki, makanan pun bisa lebih banyak jadi kami tak pernah lupa makan dan makan
(hehe) diselingi ngobrol sana-sini. Kabarnya ada beberapa pendaki yang hilang
dan belum ketemu sampai hari dimana saya berkemah kala itu. Hiii tak mau lah
membayangkan saya ada di posisi mereka yang hilang, kabarnya kemungkinan besar
pun mereka sudah tiada (innalillahi) tapi tim SAR masih dikerahkan untuk
setidaknya menemukan jasad mereka (semoga dimudahkan).
Cari sinyaal!! hahay tetep ya anak kota |
Malam ketika sebagian
kami asyik makan (lagi) dan masak minuman hangat, kami jumpa dengan tim SAR
yang kami bicarakan tadi siang. Ternyata mereka mampir ke tenda kami untuk
sekedar istirahat (panjang umur.. baru diomongin). Sontak hampir semua
bangun dan berbincang dengan mas-mas hebat ini. Saya hanya diam mengamati dan
sesekali menawarkan makan dan minum yang pasti mereka butuhkan. Ternyata di
jalur Papandayan ini ada juga yang bisa mengarah ke daerah lain seperti
Bandung, Tasik, Sumedang.. hurrm semacam itulah. Dan itupula mungkin yang
membuat mereka hilang. Tersesat adalah satu kata yang menakutkan di gunung. Langsung
saya menatap kawan-kawan hebat sependakian saya dan tersenyum lega karena
mereka semua anak pecinta alam cuuy!! (hahaha aman).
Esok paginya, mencoba
melupakan ‘tersesat’, beberapa dari kami ingin mencapai puncak Papandayan. Rugi
dong tak jumpa puncak gunung sudah jauh-jauh kesini. Apalagi papandayan tak
lebih dari 2.665 m dpl (sok ni berasa udah pernah yang agak tinggian dikit haha).
Sebagian lain memilih tiduran atau santai di tenda. Sedari pagi kami berkemas,
siapkan sedikit barang bawaan dan minuman secukupnya. Kami harus kembali lagi
sebelum sore karena kami harus pulang ke Jakarta. Kaki mulai menapaki jalur
yang lebih sempit dari bukit-bukit kapur kemarin.
Pondok seladah adalah area pertama yang kami jumpai dan Wuooww ramai sekali disini, tak pernah saya menemukan ketika naik gunung begitu banyak tenda, orang ngobrol, lalu lalang sana sini bak perkampungan. Dataran luas ini memang tempat favorit pendaki untuk berkemah. Itulah kenapa kemarin kami tidak memutuskan menginap di Pondok Seladah. Terlalu ramai. Di tempat kami sekarang ini, hanya kami saja (hehe).
Pondok seladah adalah area pertama yang kami jumpai dan Wuooww ramai sekali disini, tak pernah saya menemukan ketika naik gunung begitu banyak tenda, orang ngobrol, lalu lalang sana sini bak perkampungan. Dataran luas ini memang tempat favorit pendaki untuk berkemah. Itulah kenapa kemarin kami tidak memutuskan menginap di Pondok Seladah. Terlalu ramai. Di tempat kami sekarang ini, hanya kami saja (hehe).
Sesaat setelah nyemil2 hehe |
Kami lanjutkan menuju Hutan Mati, lalu Tanjakan Mamang yang curam dan Tegal
Alang berupa padang edelweiss yang cantik. Dari sana, kami tidak tahu kemana.
Yup, tidak tahu?! karena ternyata banyak yang belum sampai ke puncak (wuaah
huhuhu) bahkan tidak ada yang pernah.
Kami hanya mencari jalur
lanjutannya, tim dibagi, orang-orang berpencar mencari jalan setapak
selanjutnya kemana. “Susah juga” saya membatin. Mungkin itulah kenapa sebagian
memilih tidur saja, mereka sudah tahu pasti sulit kah? Saya harus coba lah. Lalu akhirnya kami
temukan jalur itu, turun membelah sungai lalu kemudian naik bukit lagi. Kami
memang hanya bermodalkan GPS. Kami pun menyusuri jalur itu dan sedikit lega. Sejurus
kemudian kami tiba di daerah yang sempit dengan vegetasi cukup rapat seperti
tidak ada jalur. Kami sempat ragu, berdebat, dan diputuskan bila dalam sepuluh
menit kedepan tak kunjung jumpa maka kami pulang kembali.
Kami coba cari semua jalan, bahkan berteriak-teriak karena kami merasa ada juga yang berteriak. Somehow itulah cara kita berkomunikasi saat mendaki (unik ya hehe). Sahutan kami seperti dibalas oleh seseorang. Yup, sedikit harapan muncul. Akirnya kami terus teriak dan mengamati arah balasannya. Baik sekali orang itu mau terus membalas sahutan kami. Dan berkat teriakan ini kami sampai di puncak Papandayan. Ternyata disana sudah ada sekelompok mas dan mba yang sedang santai tanpa ada muka capek dan bingung seperti kami malah sempat membalas teriakan kami. Alhamdulillah. Kami berterimakasih juga sama mereka karena membantu. Saya tidak mau kata tersesat itu menempel di kami.
Kami coba cari semua jalan, bahkan berteriak-teriak karena kami merasa ada juga yang berteriak. Somehow itulah cara kita berkomunikasi saat mendaki (unik ya hehe). Sahutan kami seperti dibalas oleh seseorang. Yup, sedikit harapan muncul. Akirnya kami terus teriak dan mengamati arah balasannya. Baik sekali orang itu mau terus membalas sahutan kami. Dan berkat teriakan ini kami sampai di puncak Papandayan. Ternyata disana sudah ada sekelompok mas dan mba yang sedang santai tanpa ada muka capek dan bingung seperti kami malah sempat membalas teriakan kami. Alhamdulillah. Kami berterimakasih juga sama mereka karena membantu. Saya tidak mau kata tersesat itu menempel di kami.
Salah satu pemandangan cantik di Gn.papandayan. Indah kan! |
Puncak Gn. Papandayan
tidak begitu luas. Kami sampai bertanya kepada tim yang lebih dulu itu “udah
sampai puncak ?”. Okey, puas menikmati dan foto-foto (hehe) kami lanjutkan
istirahat dan makan (tetep). Lalu beberapa menit setelah tim sebelumnya turun kami
pun turun kembali menapaki rute menuju tenda. Ternyata setiap gunung memang
punya tantangannya masing-masing. Alam tetap tidak mengenal siapa kita,
seberapa sering atau jarangnya kita mendaki. Harus waspada. Maka tak sangka,
walau tidak terlalu tinggi tapi sulit mencapai puncak Papandayan ini. Akhirnya saya
senang dan bersyukur kembali selamat ke Jakarta, cuma tas Ahmad saja yang
kurang beruntung, terjatuh ditengah jalan ketika diikat diatas angkot yang
melaju menuju Terminal Garut (hehe). Yang
kuat dong mang ngiketnya!!
mendaki gunung...+_+
ReplyDeletepasti banyak nyamuk,panas dan kurang rehat...
semangat seh bay
Hehe iya betul jg..
DeleteTapi bagus pemandangannya jd semangat lg
Mas, saya kemarin hbs mendaki gn. Papandayan. Saya tidak sampai ke puncak nya, tp jujur saya masih penasaran ingin ke sana, sebagian besar team pendaki yg saya tanya mereka blm pernah sampai puncak. Ada tanda klo itu puncak atau bukan dari mana?
ReplyDeleteMas, saya kemarin hbs mendaki gn. Papandayan. Saya tidak sampai ke puncak nya, tp jujur saya masih penasaran ingin ke sana, sebagian besar team pendaki yg saya tanya mereka blm pernah sampai puncak. Ada tanda klo itu puncak atau bukan dari mana?
ReplyDeletewah memang kecil ya puncaknya, kami juga tahu karena ada yang sudah sampai disana duluan dan kasih tahu. Tapi rasnaya memang ada tulisan juga sih (walau gak resmi tu tulisannya seingat saya)
Delete180217 kmrn sy jg k ppndyn..mmng aneh jk dbndng gnung gde yg 2985 mdpl mka gnng ppndyn yg 2622 srasa sngat rendah bnget. Kra2 3 jam sdh smp taman salada.trus k htan mati...lalu tegal alun kra2 2 jam (sdh sm fto2heheh) dl jutkan dng rute bingung... K knnan tgal alun ktemu danau... Lrus dr tgal alun llu truni lembah..me.aimi bukit yg terbakar..ktanya itu puncak bayangan..nah punc pass/2622 ppndyan ktanya ada d sblah kiri puncak byngan...mnuruni lwmbah lagi...trus mnaiki bukit.nah puncaknya..ktanya..katanya lho..itu sjatinya puncak pas papandayn...ribet..klo g kburu waktu wat balik lerja mu.gkin djabanin..smgas suatu saat mo kppndyn lgi dan bsa jd guide..
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete