Mendaki tebing @Bromo |
Dua 'kisanak' selalu berkelana @savana Bromo |
Memori pertama kali saya
berjalan kaki jauh adalah sewaktu kuliah dulu menemani seorang teman menyusuri
pantai. Bukan untuk senang-senang, melainkan tuntutan tugas akhir (skripsi)
yang membuat kami harus memetakan (tracking)
titik-titik di pinggir pantai Cilacap setiap 100-200 meter dengan GPS, sejauh
hampir 20 km! Sebetulnya bisa saja naik becak, sewa motor atau lainnya. Tapi
akhirnya kami memutuskan berjalan kaki dengan alasan menikmati pantai dan pemandangannya
ditambah (sekali lagi) kondisi keuangan (mahasiswa kan!).
Ini kunjungan pertama
saya ke Jogja. Senja Utama yang mengantar kami tidak bisa berbuat banyak
menunjukkan jalan menuju tujuan kami selanjutnya, hanya sampai stasiun Tugu
saja tugasnya. Berbekal informasi di stasiun, kami bisa menggunakan Trans Jogja
untuk menuju UGM. Yap, kampus ini akan membantu saya menyelesaikan tugas akhir
dan kesanalah kami selanjutnya. Niat tulus petugas Trans Jogja malah menuntut
kami pada keinginan besar berjalan kaki karena si petugas membekali kami dengan
peta, dan kami pun menyambangi halte Trans Jogja lain demi mendapatkan tambahan
peta (satu orang satu gitu!). Itulah kali kedua saya berjalan kaki jauh, dari
Stasiun Tugu sampai kampus Gajah Mada hampir sejauh 10 km termasuk keliling cari
kost-kostan murah di Kaliurang untuk kami menginap selama satu bulan kedepan.
Kemampuan mencocokkan peta dengan kondisi aslinya sampai menebak ‘apakah ini
yang dimaksud di peta’ pun meningkat, maklum peta rute jalur Trans Jogja ini
tidak mungkin menunjukkan detail kenyataannya. Lima tahun berselang, jalanan
dan suasana Jogja ketika itu pun masih teringat jelas dalam benak saya.
Menyenangkan! Tak heran saya selalu mencoba kembali ke Jogja J
‘Kepagian’ juga bisa menjadi salah satu alasan kenapa
saya berjalan kaki. Akhir Maret yang lalu saya kembali mengunjungi Coban Rondo
di Batu-Malang. Karena waktu yang sempit plus dibumbui semangat yang besar
akhirnya sampailah kami di daerah Pujon di pertigaan menuju wanawisata air
terjun pukul setengah enam pagi! Sang ojek pengantar pasti masih terlelap
menikmati udara dingin sehingga akhirnya kami memutuskan berjalan kaki, bahkan
penjaga pintu gerbang pun pasti tak rela meninggalkan mimpinya sehingga kami
bebas biaya masuk. Udaranya memang begitu dingin menyejukkan walaupun keringat
kami tetap jatuh menempuh hampir 12 km pulang pergi dengan kontur jalan
pegunungan yang turun naik. Tapi barisan pinus dan jati yang menemani kami
memberikan kesegaran mengisi paru-paru hingga otak kami yang tetap
memerintahkan kami terus berjalan dengan senang. Memanjakkan mata menikmati
naiknya matahari beralas pemandangan rumah-rumah cantik dan deretan sawah
hijau. Sebetulnya ada satu pengunjung yang juga datang pagi-pagi tapi kami
seakan enggan untuk sekedar menumpang, akhirnya hanya tetap mengandalkan kaki
untuk pulang. Nah, demi ikut tetap menjaga kelestarian tempat wisata ini, kami
pun membayar biaya masuk justru saat kami keluar hehe.
Jalan kaki pun tetap foto @Pangkalpinang, Bangka |
Begitu banyak memori
mengenai tempat wisata yang lekat dengan berjalan kaki. Di Bangka kami jalan
kaki panas-panas demi mendapat hotel murah sampai sewaan motor dan mobil, saya
pun tak ragu jalan kaki jauh di jalan raya Lembang ketika mencari Vihara Vipasana
(daripada macet) bahkan berjalan kaki di dalam kota Bandung karena saya pusing
dengan jalan satu arahnya juga angkutannya tapi juga seru menikmati sisa-sisa Belanda yang sengaja ditinggalkan di kota ini.
Gantian bawa ransel @Gn. Gede |
Berjalan kaki, memang
mejadikan badan lebih sehat, kaki lebih kuat dan menjadikan nafas lebih teratur
dengan syarat harus dilakukan dengan hati senang. Bahkan ketika berjalan kaki
adalah pilihan terakhir, saya selalu mencoba melakukannya dengan senang
tepatnya merelakannya. Ketika ikut di pendakian puncak Gunung Pangrango Bogor
contohnya, berjalan kaki bahkan di malam hari adalah pilihan satu-satunya untuk
memudahkan mendekati puncak. Padahal sebelumnya saya tidak pernah dan tidak mau
berjalan kaki malam-malam di kota tanpa tujuan yang jelas, tapi di gunung lain
cerita ternyata.
'Nyemil' dulu istirahat @puncak Gn.Pangrango |
Saya yang pemula mendapati diri berada di titik kulminasi
bahwa kaki tidak lagi bersahabat, leher tak lagi mampu menopang mata untuk
terus mengarah ke puncak, pundak pun terasa tak hanya sekedar membawa satu carrier, tapi mungkin milik satu tim. Dan
toh, hati ini ternyata bekerja lebih keras. Meneguhkan diri bahwa berjalan lah
selangkah demi selangkah, menata fikiran dengan hal-hal yang menyenangkan dan
disanalah saya pada akhirnya, puncak Pangrango. Tersenyum dan malu mengingat
apa yang pernah saya keluhkan dan bagaimana alam sekitar memberikan saya
pelajaran sekaligus bangga akan apa yang bisa dilakukan oleh hati seseorang.
Jalan kaki emang salah satu kewajiban pecinta jalan-jalan kecuali yang gak punya kaki... olahraga sehat...
ReplyDeletesetuju! sendiri atau rame2, jalan kaki tetap bikin sehat
DeleteGue kayaknya tau dan hadir juga pas momen titik kulminasi itu datang, hehe.. andai footprint bisa bicara ya, ceritanya bakal panjaaaangg..
ReplyDeleteWahh,,, pengalaman tak terlupakan ya hahaha..
Delete*jadi malu pasti ya!
nice post.
ReplyDeleteuntuk walking tour sumatera barat silahkan kunjungi balik
Terima kasih.
DeleteOke, nice tour euy.