Sunday, 29 September 2013

‘Mumpung’ story (eps.3) : Kobe, Jepang



Changi Int'l Airport - Singapore, fiuh! lengkap..kap!
Jalan-jalan ke luar negeri, sudah bukan hal yang terlalu sulit sepertinya. Tiket murah dari low cost airline macam Air Asia atau Tiger Airways sudah tersedia. Baru beberapa waktu lalu di salah satu situs maskapai saya menemukan tiket ke negara tetangga hanya dua ribu rupiah, SUPERB! Selain itu bebas visa di sebagian besar negara ASEAN juga jadi hal yang jelas mempermudah, minimal kita bisa jalan-jalan ke negara tetangga, bahkan beberapa negara seperti Hongkong pun bebas visa untuk warga Indonesia. Oia, hal lainnya adalah daya tarik atau magnet negara asing sepertinya bisa membuat semua kesulitan dianggap mudah dan itu yang paling penting kan? kalau sudah niat ya sesulit apapun dilakukan, magnet wisata belanja murah bisa jadi alasan orang nekat pergi ke Singapura sampai Dubai, daya tarik menikmati hidup modern dan serba teratur juga mungkin jadi alasan seseorang mengunjungi Eropa sampai Amerika. Atau alasan yang satu ini, backpacker, keinginan kuat untuk menikmati daerah baru, menaklukan daerah baru yang berarti menaklukan diri sendiri, mencari jati diri dan alasan idealis lainnya.


Disisi lain, sebagian orang memiliki alasan yang lebih khusus (masuk akal) mengapa akhirnya mereka keluar dari batas negaranya sendiri. Mulai dari alasan keluarga, pendidikan, berobat, ibadah dan juga pekerjaan. Nah, saya sendiri sekalinya keluar negeri ya karena tugas pekerjaan dan itulah juga kenapa cerita ini ada di bagian Mumpung story mungkin kalau saya keluar negeri karena niat jalan-jalan pasti saya buat Lapsus alias laporan khusus sendiri (hehe). Tapi biarpun karena pekerjaan harus sempat jalan-jalan!

Kinkakuji - Kyoto, Desember 2011
Sekitar pukul tujuh malam saya dan rombongan diminta untuk berkumpul di salah satu restoran terminal keberangkatan internasional Bandara Soekarno Hatta. Saya sebagai perwakilan kantor memang tidak bisa santai leha-leha tapi harus mendata peserta yang kebetulan adalah klien kami dan semuanya Ibu-ibu (hadeuuh) kadang bisa repot mulai dari bantu angkat koper dari mobil mereka sampai bawel minta mereka jangan kemana-mana dulu. Tujuan kami adalah Singapura menumpang penerbangan jam 9 malam nanti untuk transit dan kemudian menuju Kobe, Jepang.

Ini jadi pengalaman pertama saya keluar negeri, naik pesawat kelas dunia (eh tapi Garuda kan juga kelas dunia ya, Yeay!!) juga pertama kali mengunjungi Jepang. Sangat senang juga penasaran mengetahui seperti apa perasaan saya ketika kembali ke Jakarta nanti dan apa yang akan saya kenang (hehe) kan kalau penasaran sama Jepangnya mah tinggal tanya aja mbah Google.

Ternyata pesawat kelas dunia pun bisa terlambat, tepatnya dua jam. Kami baru bisa meninggalkan Changi hampir jam 2 malam untuk kemudian menikmati 7 jam perjalanan yang sangat nyaman. Ditengah malam entah kenapa saya terbangun setelah cukup nyaman tidur di pesawat, saya spontan melihat ke jendela yang memang persis di samping saya dan seketika itu juga saya melihat bintang yang sangat banyak di langit malam. Langit polosnya benar-benar penuh akan bintang kuning terang dengan kumpulan awan di bawahnya. Itu benar-benar pengalaman yang membuat saya merinding kagum. Bintang itu sejajar dengan saya, saya tidak perlu capek-capek mendongakkan kepala. Efeknya, saya pun lupa untuk sekedar merogoh tas dan merekamnya dengan kamera mungkin karena terlalu asyik dan sampai akhirnya saya terlelap kembali. Kadang saya berpikir mungkin Tuhan memang sengaja membuat saya lupa, karena ingatan di kepala saya ini pasti akan lebih lekat dibanding hanya sekedar jepretan kamera (iya kalo bagus motonya). Alih-alih bagus, saya pasti akan mengurangi nilai keindahannya (hehe). Jadi lebih baik menikmatinya langsung pakai mata kamera sendiri. Ayok!

Mungkin tidak perlu lah saya ceritakan detil misi kantor yang saya emban, kita langsung skip ke jalan-jalannya. Pokoknya intinya saya itu datang untuk mengikuti seminar (jauh ya!) dan mendampingi Ibu-ibu tadi itu (mereka lebih heboh pas sudah sampai Bandara Osaka/Kansai!). Berarti bisa jalan-jalan? Yupp bahkan waktunya jauh lebih banyak dari kunjungan dalam negeri, Yeay!
Beautiful Kobe (view from Portopia Hotel)
Kobe, adalah ibu kota dari perfektur (seperti provinsi) Hyogo yang ada di bagian Barat Daya kalau lihat peta kepulauan Jepang. Kobe juga merupakan kota pelabuhan tapi ya jelas jauh berbeda sama Priok (hehe). Dari yang saya perhatikan, kota ini dan saya yakin di sebagian besar kota di Jepang, sangat bersih, rapih dan teratur. Transportasi terintegrasi dengan baik, penduduknya teratur dan memang biasanya kota-kota seperti ini jadi terkesan sepi. Tapi ketika saya dan teman-teman jalan-jalan ke Kyoto, kami akhirnya menemukan keramaian di stasiun kereta, pusat perbelanjaan, juga terminal bus.


Nah, tempat wisata pertama yang saya kunjungi adalah kuil Kinkakuji di Kyoto. Kesananya naik JR (Japan Railway) yang memang terbilang cukup mahal tapi untuk jarak yang cukup jauh hanya ditempuh tidak sampai dua jam dari Kobe rasanya sepadan. Keretanya pun cepat dan nyaman, gak (boleh) berisik apalagi makan/nyemil. Terkukung lah hasrat kami yang biasanya cas-cis-cus mau di kereta atau bus karena melihat sekeliling yang aduuh adem anyem diem. Tapi memang bagusnya seperti itu, kan tempat umum. Kuil Kinkakuji atau Temple of the Golden Pavilion merupakan kuil yang dikelilingi taman-taman indah dan juga danau. Di dalam tamannya ada paviliun emas yang konon keseluruhan pavilionnya dilapisi emas kecuali lantai dasar (sayang kalo diinjek kali hehe).
Kinkakuji  juga pernah terbakar beberapa kali di masa Perang Onin
Peristiwa memalukan itu pun terjadi. Kami sempatkan beli oleh-oleh di salah satu stand di pintu keluar Kinkaikuji, pilah-pilih ini itu cari yang agak murah ngobrol berbahasa Indonesia jadi bisa cekikikan ngomong seenaknya dan datanglah suara Bapak-bapak memotong “udah gak usah dipilih-pilih” Eh, orang kita! itu pertama! Hal lain terjadi ketika saya naik eskalator untuk kembali menuju stasiun JR. Saya dan teman asyik ngobrol sana sini mengomentari pohon natal besar di depan kami sambil berdiri bersampingan di eskalator (seperti biasa dimanapun kan!) tapi tidak memperhatikan kalau orang-orang di depan saya semuanya berdiri di sisi kiri eskalator hingga ada seseorang di belakang saya mendekat cepat tiba-tiba berhenti kemudian diam cukup lama dan (untungnya) saya sadar untuk kemudian bergeser mempersilahkan Bapak Jepang itu lewat (Oalaah sisi kiri untuk yang diam, sisi kanan untuk mereka yang buru-buru/menyusul) disiplin sekali! Kepikiran ya! Hebat! Dan saya malu lagi! Huhu

Masjid ini dekat dengan Kobe Halal Food.





Oia, tentang orang Indonesia di Kobe, selain Bapak di Kuil Kinkakuji saya pun bertemu dua lainnya. Ada Bapak pelaut yang bertemu di tengah jalan sewaktu saya cari oleh-oleh disekitar hotel juga mahasiswi yang menjaga toko Kobe Halal Food. Senang rasanya! Semoga mereka ingat pulang (hehe). Jalan-jalan kedua saya adalah mencari Masjid Muslim Kobe yang menjadi masjid pertama di Jepang dan tetap berdiri kokoh baik ketika dihantam bom atom Perang Dunia II maupun gempa 7.2 SR di tahun 1995. Setelah 'coba' baca peta dan berjalan kaki sekian lama kami menemukan masjid itu diantara pemukiman penduduk. Udara di dalam masjid jauh lebih hangat dari udara luar yang, aduh, mulai dari hari pertama datang saya sudah kedinginan hebat, untung tidak ada salju. Penghangat di dalam masjid ini sangat membantu kami shalat isya dengan khusuk. Jemaahnya memang lebih banyak dari warga pendatang atau keturunan Arab/Melayu. Ketika kami memasuki masjid pun seorang Bapak berparas Arab menyapa kami dengan “Indonesia ya?” (Yailah, kelihatan banget ya?).
 
Bandar Udara Internasional Kansai (Osaka Airport)
Senang rasanya bisa menikmati Jepang dari berbagai sisi mulai dari melihat kedisiplinan warga Kobe, hidup ala kota megapolitan dengan segala kemajuan dan kecanggihan sistem dan teknologinya (kereta, bangunan, bahkan tata jembatan dan jalan rayanya itu bagus sekali) kebudayaan yang kental di kuil Kinkaikuji sampai seperti menemukan ‘rumah’ di Masjid Muslim Kobe. Dan akhirnya saya sadar, semakin lama saya berada di Kobe, saya justru rindu dengan Indonesia, bukan saja karena makanannya (susah di Kobe cari yang ‘cocok’) tapi juga suasananya, hawanya, semrawutnya bahkan ramainya Indonesia (hehe). Selain rindu, ternyata saya semakin menghargai Indonesia dengan segala kelebihannya disaat masih banyak penduduknya yang meragukan negara ini. Mungkin seperti banyak orang bilang, kita sadar bahwa kita menyukai seseorang justru ketika orang tersebut pergi, nah, cara yang sama mungkin bisa dilakukan, cintailah negeri ini dengan berpetualang ke sebanyak mungkin negeri di luar sana karena bisa jadi kita justru akan lebih mencitai Indonesia dan selalu ingin segera kembali menjelajah Indonesia. Saya akan coba cara itu!
 
Malam itu di pesawat menuju pulang, saya berpikir untuk terus mencoba hal baik yang saya dapatkan dari Kobe, kedisiplinan, keteraturan karena mungkin yang dibutuhkan negara ini hanya orang-orang yang mau bergerak maju dan berpikir bak negara maju tapi tetap berbudi Indonesia.


Mumpung ke luar negeri, sekalian belajar!

5 comments:

  1. Aduhh mas, karen seh kamu udah ke jepang...kapan lg aku akan ke sana ye spt kamu.. =(

    ReplyDelete
  2. Kalau untuk pasar tradisional atau penjual makanan jalanan di kobe, terletak di daerah mana, ya, mas?

    ReplyDelete
    Replies
    1. aduh, kalo yang ini kurang mudeng -.-' karena gak sempat jauh2 kemana-mana
      nanti bisa dibantu sharing ya kalau sudah ketemu ^.^

      Delete
  3. Membuat saya makin ingin ke Jepang. Masih ada tulisan tentang Jepangkah, Mas?

    ReplyDelete