Dieng Culture Festival hari kedua. Hari
yang paling menarik.
Pukul setengah lima pagi kami sudah dibangunkan untuk
mengikuti kegiatan pertama, melihat terbitnya matahari dari puncak bukit. Waw,
langsung semangat karena selama traveling saya belum pernah benar-benar serius
mengikuti acara nonton sunrise
alasannya kalau bukan ngantuk pasti karena terlalu dingin apalagi kalau lagi naik
gunung (banyak alasan ya). Tapi kali ini harus diniatkan dan bersungguh-sungguh
(hehe)!! Katanya Dieng terkenal dengan dinginnya, eh ternyata betul! Dingin airnya
menusuk kulit, ampunn!! Jadi tak perlu mandi langsung pasang jaket dua lapis. Semua orang di Bluwek coffee -nama penginapan saya- sudah siap. Teman-teman
mahasiswa dari Jogja memang bawa mobil sendiri. Kami? Ternyata sudah
dipinjamkan motor. Yap, harus
menerjang dinginnya Dieng subuh-subuh pakai motor!! Jaket dua lapis mungkin
sedikit membantu tapi saya tak punya persiapan seperti sarung tangan atau
masker, jadilah tangan beku mulut kering akibat kekibas angin dingin. Si Ardi malah pakai celana pendek (hehe)
tancapp gan!!
bintang di langit subuh Dieng |
Kurang lebih 20 menit perjalanan
yang menyiksa -karena menahan dingin- kami sampai di tempat parkir untuk
kemudian melanjutkan berjalan kaki sekitar 1 km mendaki bukit. Dan sudah ada banyak
sekali mobil dan motor bahkan mini bus, wisatawan yang berjalan kaki juga tak
kalah banyak. Jalanan menuju puncak bukit pun antre. Eh sepanjang mendaki saya
masih bisa melihat bintang di langit biru subuh ini, indah sekali.
Ada dua
puncak yang dijadikan posisi terbaik melihat matahari terbit, yang
masing-masing dapat menampung 100-200 orang. Karena saya bukan yang pertama
datang (bayangkan harus datang lebih awal, Brrrr) maka setiap puncaknya pun sudah
terlihat penuh. Persis dibawah salah satu puncak saya mencari posisi yang pas,
bersama teman-teman pendaki lain memandangi semburat kuning di timur langit
yang memanjang persis didepan mata kami dan menunggu hingga akhirnya bintang
besar itu muncul. Memang betul, sangat indah melihat matahari terbit, melihat
bukit-bukit dibawah kami yang mulai terpapar sinar dan mengikuti hilangnya
bintang karena langit beranjak terang.
mereka pasti tak kan pernah lupa indahnya Dieng, sama seperti saya :) |
Selepas menikmati sunrise kami segera beranjak turun
sebelum repot berjibaku dalam lautan manusia seperti saat naik. Entah kemana
rombongan Bluwek Coffe, saya dan Ardi malah memacu motor kami ke tempat wisata
selanjutnya, tidak jauh ada Dieng Plateu Theater dan Telaga Warna. Sayangnya teater
tempat pemutaran film dokumenter tentang sejarah dan budaya di Dieng ini masih
tutup (yaiyalah), maka kami lanjutkan menuju Telaga Warna.
Telaga ini menjadi salah satu objek
wisata favorit setelah Candi Arjuna, pepohonan yang rindang, pemandangan danau
yang indah karena warna airnya bisa bermacam-macam ketika terpapar sinar
matahari terkadang hijau, kuning atau mirip pelangi. Disebutkan bahwa hal ini
dapat terjadi karena Telaga Warna memiliki kandungan sulfur yang cukup tinggi.
Yang unik lainnya, di dekat Telaga ini juga terdapat beberapa Goa tempat semedi
para tetua atau pemangku adat Dieng, salah satu goa yang tertua adalah Goa Semar.
Sempat kami datangi Goa ini tapi tidak terlalu memperhatikan banyak takut
menghilangkan kesenangan, agak-agak menyeramkan (hehe). Tapi bagaimanapun
kompleks Telaga ini cocok untuk bersantai sampai berfoto, tak lengkap ke Dieng
kalau belum ke Telaga Warna. Tiket masuk hanya enam ribu rupiah.
Telaga Warna |
Acara terakhir yang saya ikuti sekaligus
sebagai puncak acara dari Dieng Culture Festival, yaitu ritual pencukuran
rambut gembel yang merupakan ritual turun temurun peninggalan leluhur. Sebelumnya,
akan dilakukan ‘kirab’ atau arak-arakan anak gembel dimulai dari rumah pemangku
adat yang diikuti para sesepuh, tokoh masyarakat, paguyuban seni tradisional
dan masyarakat lainnya. Selanjutnya akan dilakukan ‘jamasan’ atau memandikan
anak gembel di kawasan Sendang Sedayu untuk kemudian bergerak menuju pelataran
Candi Arjuna. Disini rambut gembel sang anak akan dipotong oleh pemangku adat
diikuti oleh pembagian sesaji atau Ubo Rampai kepada masyarakat. Terakhir,
rambut gembel akan dilarung (dihanyutkan) di sungai Serayu yang akan menuju
laut selatan.
Budaya yang menarik bukan? Melihat
banyaknya masyarakat lokal Dieng, wisatawan yang datang dari berbagai daerah di
Jawa sampai mancanegara dan juga sekelompok besar media nasional menunjukkan
bahwa rambut gembel menjadi sangat fenomenal dan menarik untuk diikuti dan
dicari tahu lebih jauh. Dari Pokdarwis (kelompok sadar wisata) Dieng Pandawa
saya mengetahui bahwa disebut gembel karena menyerupai rambut gelandangan yang
tidak pernah mandi, rambut ini bukan karena faktor keturunan dan hanya bisa
tumbuh alami pada anak-anak Dataran Tinggi Dieng. Secara medis, penyebabnya
belum diketahui pasti namun biasanya rambut gembel muncul disertai panas demam
yang tinggi dan mengigau saat tidur. Gejala ini tidak bisa diobati sampai
akhirnya akan normal dengan sendirinya dan rambut akan menjadi kusut dan
menyatu.
bila tradisi ruwatan bukan atas permintaan anaknya sendiri, konon gembel bisa tumbuh kembali :) |
Lengkap sudah saya mengikuti
festival budaya Dieng ini, banyaknya masyarakat dan media yang berpartisipasi
membuktikan bahwa Dieng dan budayanya sudah menjadi salah satu cerminan atau
daya tarik pariwisata di Jawa Tengah bahkan Indonesia, terlebih peresmian Visit
Jateng 2013 pun di resmikan di festival kali ini setelah pada tahun lalu
dilakukan di Borobudur. Oleh karena itu Dieng pun rasanya harus terus berbenah,
karena melihat banyaknya wisatawan kemarin agak-agak ruwet, ditambah pers, saya pun pusing (hehe). Tapi untunglah acara
yang disuguhkan memang seru.
Satu hal lagi yang menarik mengenai
ritual ini. Pemotongan hanya akan dilakukan setelah si anak mengajukan
permintaan pada orang tuanya dan harus dibawa saat ritual berlangsung.
Permintaan dari enam anak gembel Dieng kemarin pun bermacam-macam ada yang
minta kambing, jajanan pasar, sampai sepeda lalu munculah ketika dibacakan oleh
pemangku adat permintaan salah satu anak hanya milkuat dan milkita (hehe)
sontak masyarakat pun tertawa.
Akhirnya di Minggu siang menjelang
sore saya kembali ke Jakarta, kali ini dengan bis yang lebih nyaman (Dieng
Indah, bisnya Dieng hehe) sambil sepanjang jalan memikirkan kalau saya punya
gembel, mau minta apa ya............. J
Well Done! Foto 'sang bintang fajar' itu bener-bener Wow!..Eniwei, si bocah Dieng tetep keren kok dengan rambut gembelnya..
ReplyDeletesubhanallah ya :)
ReplyDeleteiya konon si bocah Dieng susah kalau di foto, selalu memalingkan wajah dan nunjukkin rambutnya, itu yg moto hebat bisa moto wajahnya :) dapet dr mbah google.